WAKTU ia dipecat dari partai pemerintah Malaysia, UMNO (United
Malays National Organisation) pada tahun 1969, Datuk Sri
Mahathir tidak berang. Ia sadar, pertikaiannya dengan pemimpin
yang lain menyangkut masalah prinsip dalam penyelenggaraan
negara. Tidak ada sesuatu yang pribadi sifatnya apalagi soal
perebutan kedudukan. Dr. Mahathir tetaphormat pada Teuku Abdul
Rachman, si Bapak Merdeka. Walaupun terhadap perkembangan
kekuasaan dan cara pemerintah menangani masalah politik saat
itu, ia mempunyai perbedaan paham. Sebaliknya, tampaknya
orangorang tua dalam partai itu tidak sabar melayani pikiran
segar dari cendekiawan muda dan kader partai tersebut. Mahathir
pun dicampakkan.
Sebagai pejuang, aib bagi Datuk mempersoalkan jabatan dalam
pemerintahan. Ia lebih prihatin pada masa depan dan keberadaan
bangsa Malaysia yang merdeka, di atas landasan kedaulatan
politik dan ekonomi Melayu yang kokoh dan pemerintahan yang
bersih. Maka dari itu Sri Mahathir tidak lantas berdiam diri,
atau mencoba berbaik-baik dan menyesuaikan diri, sikap dan
pendapatnya dengan teman-teman seperjuangan yang sedang
berkuasa. Ia pikir pokok-pokok perbedaan pendapat dan esensi
dissent yang menyebabkan ia didepak ke luar, perlu diketahui
rakyat banyak. Itu tidak cukup dengan satu dua alinea
pernyataan.
* * *
Kesempatan ia berada di luar pemerintahan dan di luar partai
merupakan waktu terbaik bagi pejuang pekasa ini untuk mengambil
jarak, guna dapat secara jernih melancarkan kritiknya. Konsepsi
perjuangannya dikibarkan lewat tulisan. Dengan cekatan dan
lantang ia membentangkan pendirian politiknya pada sebuah
manifesto: The Malay Dilemma. Otokritik yang jujur, juga bernada
emosional. Namun Datuk Sri Mahathir tidak menyesali tulisannya
itu. Juga tiada maaf perlu dipintakan dari siapa pun yang
terkena pisau analisanya. Karena ia hanya mengatakan
sejujur-jujurnya apa yang ia rasakan, apa yang ia yakini dan apa
yang ia tetapkan sebagai agenda politiknya.
Buku itu serta merta dilarang beredar, sudah barang tentu.
Tetapi larangan itu hanyalah membuktikan kebenaran salah satu
premis Datuk Mahathir. Bahwa kekuasaan itu korup, dan telah
mengkorup pula alam pikir teman-temannya yang berkuasa. Sehingga
kebebasan berpikir dan berpendapat dari seorang nasionalis
Melayu tulen seperti dia tokh harus dilarang. Karena dilarang
beredar, buku yang sebenarnya lebih merupakan renungan kader
bangsa yang pintar dan patriotik itu, meningkat martabatnya.
Seratus delapan puluh delapan halaman retorika politik dari
seorang dokter medis itu lalu menjadi buku wajib bagi anak muda
Malaysia yang sadar akan tanggungjawab mereka terhadap masa
depan bangsa.
Datuk Sri Mahathir mulai kegetiran-kegetirannya saat mekanisme
dalam partai UMNO tidak berjalan sebagaimana mestinya. Koalisi
politik yang dirancang untuk mendukung pemerintahan yang stabil
itu, lama kelamaan kehilangan wajah demokratisnya. Yang tersisa
ialah UMNO sebagai alat kekuasaan belaka. Suara anggota partai
atau wakil-wakil mereka diabaikan. Anggaran Dasar partai
diturunkan derajatnya menjadi sekedar pasal-pasal mati yang
tidak pernah dipedulikan dalam praktek pengambilan keputusan.
Mekanisme pengambilan keputusan di dalam UMNO menurut Datuk
Mahathir saat itu, makin lama makin tidak lagi memperhatikan
Anggaran Dasar partai. Landasan tegaknya UMNO karenanya menjadi
keropos. Untuk tetap hidup, partai yang jubahnya besar itu harus
ditunjang dengan pengerahan anggota dan pendukung lewat
pantronage mengobral diri jadi sponsor ini itu, yang tidak
relevan dengan garis partai, tetapi sekedar menghimpun pengikut.
Pada beberapa hal upaya itu malah dilakukan dengan paksaan
terselubung, dengan menyalah-gunakan kewenangan pemerintahan,
yang kebetulan saat itu dipegang oleh teman-temannya dari UMNO.
Datuk Sri Mahathir mengharamkan sikap pemerintahan yang tidak
adil dan deskriminatif, hanya karena ingin menghimpun dukungan.
Karena dukungan yang diperoleh dengan cara ini semu sifatnya.
Dukungan model demikian tidak dapat mengganti dukungan murni
yang tumbuh dari kesepakatan yang tulus, persamaan ide dan
kesatuan tujuan. Dukungan yang spontan lahir karena persesuaian
pendirian, bukan karena bujukan, paksaan atau pembelian. Dengan
anggota yang dihimpun dengan cara demikian, pimpinan UMNO tidak
lagi bertanggungjawab terhadap anggota atau pendukungnya.
Pemimpin-pemimpin partai pemerintah itu, menurut analisa
Dr. Mahathir, lalu hanya bertanggungjawab pada dan untuk diri
sendiri. Yaitu pertanggungjawaban tentang cara bagaimana
muslihat memerintah dan berpolitik dapat dilakukan dengan
selubung konstitusional dan sah menurut hukum. Malah mereka
punya pretensi untuk bisa membentuk dan meramu pendapat rakyat
menurut selera sponsor. Bila benar sinyalemen Dr.Mahathirini,
alangkah fasisnya ideologi tersebut. Karena sindrom itu
dicerminkan dalam praktek menghimpun kekuatan, tak pelak UMNO
berkekuatan melampaui kebutuhan kewajaran untuk menegakkan
dukungan sebuah pemerintahan. Tentu dengan segala
konsekuensinya.
***
The Malay Dilemrna ditulis tahun 1970. Gemanya luas. Sehingga
elite politik Malaysia terpaksa harus mengakomodasikan Datuk
SriMahathir,dan menerimanya kembali dalam UMNO tahun 1972. Tahun
1974 ikut didudukkan dalam kabinet dan kini ia Perdana Menteri
yang perkasa dari Negeri Malaysia yang amat ia cintai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini