Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Menimba Sisa-Sisa Sumur Tua

Penambangan minyak mentah/lantung di desa Wonocolo & Hargomulyo, di kawasan hutan jati Bojonegoro, oleh penduduk setempat, terdapat 13 sumur sisa penambangan Belanda yang ditinggalkan, akan habis 5 th. (ds)

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA uro-uro mulai terdengar, berarti di sana penduduk sedang menambang minyak. Lagu rakyat itu ditembangkan oleh sekitar tujuh sampai sepuluh laki-laki yang secara bersama-sama menarik tali baja dari sebuah sumur minyak - sisa penambangan Belanda yang ditinggalkan karena dianggap tidak ekonomis lagi. Penambangan minyak mentah oleh penduduk itu terdapat di Desa Wonocolo dan Hargomulyo, di kawasan hutan jati Bojonegoro, Jawa Timur. Di sana seluruhnya terdapat 13 buah sumur yang sejak awal 1 940-an secara langsung menjadi sumber penghidupan sebagian besar penduduk kedua desa itu. Dan karena itu kedua desa tadi biasa disebut desa OPEC. Pemerintah pendudukan Jepang maupun (kemudian) Pertamina pernah berniat menyedot minyak dari sumur-sumur itu. Tapi setlah ternyata kandungannya tak menguntungkan jika diolah, akhirnya dibiarkan begitu saja. Dan penduduk sekitarnya segera memanfaatkannya. Dengan membeton bibir sumur-sumur itu, mereka pun memasang timba besi berukuran 1,5 m panjang, dengan garis tengah 80 cm. Timba itu mereka hubungkan dengan tali baja sepanjang puluhan meter, sesuai dengan kedalaman sumur -- ada yang mencapai 400 meter. Timba diulur ke dalam sumur, lalu ditarik beramai-ramai ke atas sambil bernyanyi-nyanyi. Bila timba telah sampai di atas, seorang di antara mereka menuangkan isinya, berupa minyak campur air, ke sebuah bak melalui saluran. Di bak ini, setelah minyak dan air dibiarkan beberapa saat, pekerja lain memisahkannya untuk membuang air yang mengambang di bagian atas. Minyak yang tertinggal, selanjutnya dimasukkan ke dalam drumdrum. Itulah minyak mentah yang di sana disebut lantung. Sebuah sumur rata-rata menghasilkan 1.000 Iiter sehari. Jika dijual, setiap tangki (berisi 4.000 Iiter) dapat laku Rp 100.000. Bahan bakar ini biasanya langsung dibeli oleh para pengusaha pembakaran kapur yang banyak terdapat di kawasan Pegunungan Kapur Utara itu. Tapi tak sedikit pula yang di-"ekspor' ke Cepu, Sala dan kota-kota lainnya di Jawa Tengah. Sekitar 300 KK penduduk kedua desa itu (yang seluruhnya sekitar 500 KK) terlibat dalam penambangan iantung. Di kedua desa yang umumnya bertanah kapur itu, memang hanya terdapat 4 ha sawah, ini pun enggan digarap pemiliknya karena tak subur. Bahkan tanah bengkok 1 ha milik Watah, Kepala Desa Wonocolo, hampir tak pernah digarap. Penduduk yang tak berurusan dengan lantung, lebih senang memilih jadi pedagang kecil, antara lain berjualan daun jati untuk pembungkus. Meski tanah bengkok itu dibiarkan menganggur, Watah bisa hidup berkecukupan. Sebab dialah yang bertanggungjawab atas penggarapan ladang minyak di desanya. Rumahnya besar, terbuat dari tembok, berbeda dari rumah-rumah penduduk yang hanya dari kayu. Ia punya sebuah kolt dan Toyota Hardtop. "Tapi itu semua kan hasil dari dagang," kata Watah. Maksudnya ya dagang minyak itu. Watah yang sudah puluhan tahun menjadi kepala desa itu, memang menjadi satu-satunya "eksportir" minyak mentah, sampai Pemda Boonegoro menertibkan pembagian hasil penjualan lantung pada 1968. Sejak itu seluruh hasil penjualan minyak dicatat, kemudian dibagi. Sebagian besar (25%) untuk dana pembangunan desa, selanjutnya untuk honorarium kepala desa (20%), upah para pekerja (20%), keamanan desa (15%), pembelian peralatan (10%), kas desa (5%), lain-lain (5%). Minyak Habis Dana pembangunan desa yang 20% dari hasil penjualan minyak itu, menurut pemeriksaan Pemda Ja-Tim dan Bojonegoro tahun lalu, telah mencapai nilai Rp 100 juta lebih. Hasilnya antara lain berupa balai dan kantor desa, balai penyuluhan gizi, balai PKK, sebuah SD, jalanjalan desa. Tapi dana itu tampaknya belum mencukupi. Jalan-jalan desa misalnya, masih berupa jalan batu tak teratur. Beberapa di antaranya memang mulus tapi masih jalan tanah. Jika ada jalan yang licin adalah karena dikeraskan dengan kotoran minyak yang dibakar sendiri oleh penduduk--dijadikan semacam aspal. Bagi penduduk kebanyakan, berkah minyak itu tampaknya belum meningkatkan taraf kehidupan mereka. Sakimin, misalnya, penimba jantung sejak muda, hanya mendapat upah Rp 500/ hari. Penghasilan itu tentu tak cukup untuk menghidupi tujuh anaknya. Dan sekarang penduduk mulai waswas. Nafkah mereka terancam, sebab seperti diungkapkan oleh Bupati Soejono, "lima tahun lagi sumur-sumur itu akan ditutup, sebab diperkirakan minyaknya akan habis." Perkiraan itu adalah hasil penelitian tim dari Jakarta tahun lalu. Karena itu bupati segera memberitahu penduduk agar bersiap-siap mencari mata pencaharian baru. Tapi penduduk tidak percaya minyak itu akan habis. "Yang kelihatan hanya kadar airnya bertambah banyak," kata seorang penimba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus