JIKA uro-uro mulai terdengar, berarti di sana penduduk sedang
menambang minyak. Lagu rakyat itu ditembangkan oleh sekitar
tujuh sampai sepuluh laki-laki yang secara bersama-sama menarik
tali baja dari sebuah sumur minyak - sisa penambangan Belanda
yang ditinggalkan karena dianggap tidak ekonomis lagi.
Penambangan minyak mentah oleh penduduk itu terdapat di Desa
Wonocolo dan Hargomulyo, di kawasan hutan jati Bojonegoro, Jawa
Timur. Di sana seluruhnya terdapat 13 buah sumur yang sejak awal
1 940-an secara langsung menjadi sumber penghidupan sebagian
besar penduduk kedua desa itu. Dan karena itu kedua desa tadi
biasa disebut desa OPEC.
Pemerintah pendudukan Jepang maupun (kemudian) Pertamina pernah
berniat menyedot minyak dari sumur-sumur itu. Tapi setlah
ternyata kandungannya tak menguntungkan jika diolah, akhirnya
dibiarkan begitu saja. Dan penduduk sekitarnya segera
memanfaatkannya. Dengan membeton bibir sumur-sumur itu, mereka
pun memasang timba besi berukuran 1,5 m panjang, dengan garis
tengah 80 cm.
Timba itu mereka hubungkan dengan tali baja sepanjang puluhan
meter, sesuai dengan kedalaman sumur -- ada yang mencapai 400
meter. Timba diulur ke dalam sumur, lalu ditarik beramai-ramai
ke atas sambil bernyanyi-nyanyi. Bila timba telah sampai di
atas, seorang di antara mereka menuangkan isinya, berupa minyak
campur air, ke sebuah bak melalui saluran. Di bak ini, setelah
minyak dan air dibiarkan beberapa saat, pekerja lain
memisahkannya untuk membuang air yang mengambang di bagian atas.
Minyak yang tertinggal, selanjutnya dimasukkan ke dalam
drumdrum. Itulah minyak mentah yang di sana disebut lantung.
Sebuah sumur rata-rata menghasilkan 1.000 Iiter sehari. Jika
dijual, setiap tangki (berisi 4.000 Iiter) dapat laku Rp
100.000. Bahan bakar ini biasanya langsung dibeli oleh para
pengusaha pembakaran kapur yang banyak terdapat di kawasan
Pegunungan Kapur Utara itu. Tapi tak sedikit pula yang
di-"ekspor' ke Cepu, Sala dan kota-kota lainnya di Jawa Tengah.
Sekitar 300 KK penduduk kedua desa itu (yang seluruhnya sekitar
500 KK) terlibat dalam penambangan iantung. Di kedua desa yang
umumnya bertanah kapur itu, memang hanya terdapat 4 ha sawah,
ini pun enggan digarap pemiliknya karena tak subur. Bahkan tanah
bengkok 1 ha milik Watah, Kepala Desa Wonocolo, hampir tak
pernah digarap. Penduduk yang tak berurusan dengan lantung,
lebih senang memilih jadi pedagang kecil, antara lain berjualan
daun jati untuk pembungkus.
Meski tanah bengkok itu dibiarkan menganggur, Watah bisa hidup
berkecukupan. Sebab dialah yang bertanggungjawab atas
penggarapan ladang minyak di desanya. Rumahnya besar, terbuat
dari tembok, berbeda dari rumah-rumah penduduk yang hanya dari
kayu. Ia punya sebuah kolt dan Toyota Hardtop.
"Tapi itu semua kan hasil dari dagang," kata Watah. Maksudnya ya
dagang minyak itu. Watah yang sudah puluhan tahun menjadi kepala
desa itu, memang menjadi satu-satunya "eksportir" minyak mentah,
sampai Pemda Boonegoro menertibkan pembagian hasil penjualan
lantung pada 1968.
Sejak itu seluruh hasil penjualan minyak dicatat, kemudian
dibagi. Sebagian besar (25%) untuk dana pembangunan desa,
selanjutnya untuk honorarium kepala desa (20%), upah para
pekerja (20%), keamanan desa (15%), pembelian peralatan (10%),
kas desa (5%), lain-lain (5%).
Minyak Habis
Dana pembangunan desa yang 20% dari hasil penjualan minyak itu,
menurut pemeriksaan Pemda Ja-Tim dan Bojonegoro tahun lalu,
telah mencapai nilai Rp 100 juta lebih. Hasilnya antara lain
berupa balai dan kantor desa, balai penyuluhan gizi, balai PKK,
sebuah SD, jalanjalan desa.
Tapi dana itu tampaknya belum mencukupi. Jalan-jalan desa
misalnya, masih berupa jalan batu tak teratur. Beberapa di
antaranya memang mulus tapi masih jalan tanah. Jika ada jalan
yang licin adalah karena dikeraskan dengan kotoran minyak yang
dibakar sendiri oleh penduduk--dijadikan semacam aspal.
Bagi penduduk kebanyakan, berkah minyak itu tampaknya belum
meningkatkan taraf kehidupan mereka. Sakimin, misalnya, penimba
jantung sejak muda, hanya mendapat upah Rp 500/ hari.
Penghasilan itu tentu tak cukup untuk menghidupi tujuh anaknya.
Dan sekarang penduduk mulai waswas. Nafkah mereka terancam,
sebab seperti diungkapkan oleh Bupati Soejono, "lima tahun lagi
sumur-sumur itu akan ditutup, sebab diperkirakan minyaknya akan
habis."
Perkiraan itu adalah hasil penelitian tim dari Jakarta tahun
lalu. Karena itu bupati segera memberitahu penduduk agar
bersiap-siap mencari mata pencaharian baru. Tapi penduduk tidak
percaya minyak itu akan habis. "Yang kelihatan hanya kadar
airnya bertambah banyak," kata seorang penimba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini