Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FERDINAND Marcos Junior di Filipina dan Gibran Rakabuming Raka di Indonesia punya banyak kesamaan: sama-sama anak presiden yang menjadi kandidat pemilihan umum dan menghindari debat publik. Dalam pemilihan Presiden Filipina tahun lalu, Ferdinand alias Bongbong Marcos Jr. berulang kali menolak berdebat dengan pesaingnya, bahkan dalam acara resmi yang digelar komisi pemilihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak yang menduga Bongbong cemas dicecar pertanyaan soal pemerintahan ayahnya yang korup dan menindas rakyat hingga digulingkan melalui “People Power” pada 1986. Analisis lain menyebutkan ia tidak menganggap debat sebagai hal penting menaikkan elektabilitas. Dalam sejumlah studi pemilihan umum di negara berkembang, debat calon presiden memang tak banyak mempengaruhi keputusan pemilih. Tanpa mengikuti debat, Bongbong memenangi pemilihan presiden. Kampanye media sosialnya yang masif dan penuh kebohongan menyirep pemilih muda.
Mirip Bongbong, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka paling sering absen dalam debat yang diselenggarakan organisasi, kampus, ataupun stasiun televisi. Ketimbang menjawab isu-isu substantif apalagi negatif, tim pasangan ini menyebarluaskan video Prabowo berjoget untuk memikat calon pemilih.
Untuk debat oleh Komisi Pemilihan Umum pekan ini, tim Prabowo-Gibran tampaknya juga “cari aman”. Mereka mengusulkan sesi saling sanggah antarkandidat dihilangkan. Bagi Prabowo-Gibran, yang sedang di atas angin berkat sokongan Presiden Joko Widodo, debat ada kemungkinan tak akan menambah ceruk baru pemilih.
Debat kandidat bisa menguntungkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. yang mungkin mendapat tambahan suara dari calon pemilih yang beralih (swing voter). Keduanya bisa jadi meraup suara pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voter). Dalam sesi saling sanggah, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud juga punya kesempatan menyoroti kelemahan Prabowo-Gibran.
Sesungguhnya, jikapun KPU menggelar sesi saling sanggah, debat tak akan pernah menjadi ajang adu gagasan dan kecakapan merumuskan pikiran dan strategi. Sejak awal, debat kandidat presiden disiapkan sebagai pendalaman visi-misi. Disiarkan di televisi dengan sebagian besar pendukung yang bersorak-sorai di lokasi, acara tersebut lebih pantas disebut sebagai pertunjukan ketimbang dialog calon presiden.
Karena itu, harapan para calon presiden dan wakil presiden akan mengadu isi pikiran dan saling bantah tak akan terwujud. Lipat juga keinginan untuk melihat mereka merespons isu tertentu dengan tajam dan menukik. Tanpa perubahan format yang mendasar, debat nanti mungkin akan lebih buruk dari debat Pemilu 2019.
Empat tahun lalu, Joko Widodo dan Prabowo Subianto serta pasangannya tampil seperti robot: membicarakan hal-hal umum dengan jawaban yang telah mereka hafalkan. Mendapat bocoran pertanyaan beberapa hari sebelumnya, jawaban para kandidat presiden menjadi tak autentik.
Moderator diskusi bahkan tak diizinkan mengelaborasi atau mengomentari pernyataan para calon. Tugas moderator hanya membacakan pertanyaan yang dirumuskan panelis. Para panelis, sementara itu, juga tak diizinkan bertanya langsung kepada para kandidat. Semua larangan itu tercantum dalam Undang-Undang Pemilihan Umum.
Dengan demikian, publik tak bisa melihat karakter calon presiden dan mengukur kemampuan mereka dalam merumuskan pikiran dan strategi memecahkan masalah-masalah besar. Dalam debat calon Presiden Amerika Serikat, isu-isu strategis, seperti pajak, peningkatan kesejahteraan, dan strategi pertahanan, dibahas secara terbuka. Pemilih bisa menyaksikan karakter calon pemimpin mereka: Donald Trump yang mendominasi dan tak mau mendengar, sementara Joe Biden menjawab patah-patah seperti tak mengerti persoalan.
Dalam pemilu Indonesia, debat dirancang menjadi pertunjukan yang palsu. Pemilih dihina semata sebagai tukang coblos—dengan sejumput otak yang hanya cukup untuk mengingat joget di TikTok dan pipi gembil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pura-pura Debat Calon Presiden"