Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagus apa pun sistem politik selalu mengandung kelemahan. Adalah tugas politisi menutupi kekurang-an itu agar demokrasi tetap terjaga dan masyarakat- tidak terus-menerus terbakar pertikaian politik. Tapi yang kerap terjadi justru sebaliknya. Sebagian politisi- se-ring muncul sebagai makhluk yang lapar kekuasaan. Me-re-ka selalu memanfaatkan setiap celah untuk merebut ja-bat-an, tanpa mempertimbangkan dampak buruknya bagi demokrasi dan masyarakat.
Lihatlah yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Belum genap setahun memerintah, Bupati Ratna Ani Lestari sudah jadi bulan-bulanan. Dia dinilai merugikan Nahdlatul Ulama karena memecat sejumlah kepala sekolah yang kebe-tulan sebagian berasal dari organisasi ini. Ratna juga disa-lahkan karena menghapus iuran bagi siswa sekolah dasar dan menengah yang membuat sekolah swasta kehilangan sebagian pendapatan. Massa dikerahkan, demonstrasi meletup, lalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ”memukul gong”. Lewat sidang paripurna, Dewan mengusulkan Bupati diberhentikan.
Ratna Lestari tak berdaya dikeroyok oleh partai-partai se-perti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Golkar. Dia memang tak punya kekuatan di parlemen daerah. Ratna tam-pil sebagai bupati lewat pemilihan langsung lantaran di-usung aliansi belasan partai kecil yang tidak memiliki kur-si di DPRD. Setelah dia menang—perolehan suaranya 39 persen—barulah Fraksi PDI Perjuangan mendukung. Tapi sokongan ini tak cukup kuat, kalah dengan kekuatan aliansi PKB-Golkar di Dewan.
Ini memang ironi sistem pemilihan langsung bagi t-okoh yang mengandalkan dukungan aliansi partai kecil. Me-menangi dukungan rakyat di lapangan tidak otomatis membuatnya menguasai parlemen.
Setelah terpilih, dia amat rentan digoyang, bahkan de-ngan isu politik murahan sekalipun. Kerepotan yang diala-mi Ratna akan sering muncul di daerah lain, lantaran cukup banyak kepala daerah yang terpilih karena popula-ri-tasnya dan tidak disokong oleh partai besar. Kalaupun ti-dak dijatuhkan, kebijakan si kepala daerah bisa telantar karena terus direcoki fraksi partai besar di DPRD.
Menghadapi kemelut Banyuwangi, pemerintahan pusat- pun perlu bersikap lugas. Kelompok yang menggoyang Ratna- memang menguasai Dewan, tapi sang Bupati juga me-wakili ribuan suara pemilih. Apalagi, sesuai dengan Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah hanya bisa diberhentikan karena meninggal, berhalangan tetap, tidak menjalankan kewajiban, melanggar larangan atau sumpah jabatan.
Prosesnya pun tidak gampang. Jika terjadi pelanggaran sumpah jabatan, DPRD hanya bisa mengusulkan. Setelah pe-langgaran yang dituduhkan diuji oleh Mahkamah Agung,- barulah presiden memutuskan nasib sang kepala dae-rah. Begitu pula jika kepala daerah melakukan tindak-an pidana atau korupsi. Presiden hanya bisa memberhenti-kannya se-telah ia mendapat putusan pengadilan yang ber-kekuatan hukum tetap.
Tidak ada kesalahan mendasar yang dilakukan Ratna.- Kalaupun ada kelemahan kebijakan, seharusnya cukup- di-koreksi. Aksi yang digalang para politisi di DPRD Banyu-wa-ngi sebetulnya juga merupakan proses demokrasi, tapi dila-kukan secara serampangan. Cara ini, selain merugikan de-mokrasi, juga merusak pendidikan politik di daerah itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo