Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSAHNYA hukum memberantas korupsi lagi-lagi tersuguh di depan mata kita. Ironisnya, kali ini justru berasal dari ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, biasa disingkat Tipikor. Majelis hakim peng-adil-an tersebut bersitegang dalam hal memanggil Ketua Mah-kamah Agung Bagir Manan, kendati ia cuma dijadikan saksi. Sudah tiga pekan ini majelis tak mencapai titik temu—sampai-sampai mereka walk out dari ruang sidang.
Tiga hakim dari jalur nonkarier itu menyatakan Bagir perlu dihadirkan. Sementara dua lainnya, kebetulan hakim karier, termasuk Ketua Majelis Hakim Kresna Menon, me-nyatakan tak perlu. Mereka tak juga bersepakat, kendati sudah dipanggil oleh Pengadilan Tinggi dan Komisi Yudisial. Akibatnya, hingga kini persidangan kasus dugaan pe-nyuapan dengan terdakwa bekas hakim agung Harini Wi-joso, yang kini menjadi pengacara pengusaha Probosu-tedjo, terus tertunda.
Harini didakwa melakukan percobaan penyuapan ke-pada tiga hakim agung, termasuk Bagir Manan. Tujuan-nya je-las, agar tiga hakim agung yang menangani peninjau-an kembali (PK) Probosutedjo tidak menghukum pengusaha tersebut. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meng-hukum adik tiri bekas presiden Soeharto itu dua tahun penjara karena terbukti mengkorupsi dana reboisasi sebesar Rp 100 miliar.
Wajar kalau jaksa penuntut umum meminta hakim mendatangkan Bagir Manan sebagai saksi. Dalam kasus korup-si, beban pembuktian memang ada pada jaksa penuntut umum. Kepintaran dan kejelian jaksa dipertaruhkan di sini. Karena itu, seorang jaksa dituntut dapat menghadir-kan saksi-saksi yang dapat mengungkap kebenaran kasus- yang didakwakan. Sesedikit apa pun keterangan saksi, sa-ngat penting bagi jaksa untuk mencari kebenaran material.
Majalah ini sependapat dengan alasan jaksa yang menilai keterangan Bagir penting dalam mengungkap kasus ini. Apalagi, Harini mengaku bahwa salah satu hakim agung yang akan disuap adalah Bagir. Faktanya, Harini memang pernah bertemu Ketua Mahkamah Agung itu di ruang kerja-nya. Dalam kasus inilah jaksa melihat perlunya Bagir Manan didatangkan ke ruang sidang.
Sikap majelis hakim terbelah. Tiga hakim, berda-sarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memandang Bagir harus dipanggil. Di sini disebutkan bahwa hakim wajib mendatangkan saksi yang diminta jaksa, pe-nasihat hukum, maupun terdakwa. Sementara Kresna Menon, dengan merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2/1985, menyatakan hakim berwenang tidak mengha-dirkan saksi yang diminta jaksa. Hakim Kresna ber-pendapat bahwa Bagir tak relevan didatangkan.
Keteguhan sikap Kresna Menon ini tentu patut disayangkan. Bukan saja lantaran surat edaran MA itu lebih rendah dari KUHAP. Tapi, lebih dari itu, karena ia mengingkari sua-ra majelis hakim yang dipimpinnya: suara terbanyak meminta Bagir dihadirkan. Di luar itu, pembentukan majelis hakim yang terdiri dari lima atau tiga hakim, seperti di-perintahkan undang-undang, sebenarnya untuk meng-an-tisipasi kebuntuan seperti ini. Jika tak terjadi mufakat, pa-ra hakim melakukan voting. Pendapat terbanyak, itulah yang wajib diikuti. Bahwa kemudian ada hakim yang tak se-pendapat, ia bisa menuliskannya dalam dissenting opinion.
Kita berharap masalah ini segera selesai. Bagir Manan dihadirkan sebagai saksi, dan majelis hakim bisa kemb-ali melakukan tugas penting mereka: memberantas korupsi. Kehadiran Bagir tak hanya penting untuk kasus Harini atau dirinya sendiri. Agar masyarakat tahu duduk persoalan yang sesungguhnya. Ini sekaligus juga menegaskan bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Tanpa kecuali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo