Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita mungkin bisa menangkap adegan ini. Di atas kertas semuanya tergambar jelas: Iran bakal menderita, mengalami isolasi yang menyesakkan, baik melalui pengaruh Amerika Serikat maupun sekutunya di Eropa. Iran telah ngotot meneruskan program pe-nga-yaan uraniumnya, dan resolusi Dewan Keamanan PBB telah membuka kemungkinan untuk menggencet Iran secara ekonomi (pasal 7 ayat 41), bahkan jika diperlukan secara militer (pasal 7 ayat 42).
Tapi krisis nuklir Iran adalah lakon yang terbuka. Pada waktu yang sama tapi di ruang yang lain, Presiden Iran Ahmadinejad menyelinap dari pintu belakang, seraya menyiapkan suasana internasional yang siapa tahu bisa me-longgarkan jepitan isolasi. Di Jakarta, ia menandatangani- beberapa proyek, termasuk investasi kilang minyak ber-nilai US$ 3 miliar di Tuban, Jawa Timur. Memperoleh dukung-an dari pemerintah, MPR, dan mahasiswa, presi-den ini pun terbang ke Bali, menghadiri pertemuan puncak negara-negara Islam, KTT D8.
Mungkin kita bisa meraba bahwa konfrontasi ini, selain bisa berujung krisis, bisa juga membawa keuntungan politik. Indonesia sendiri bisa memetik manfaat. Setelah kedatangan berturut-turut Menteri Luar Negeri Amerika Con-doleezza Rice dan Presiden Bank Dunia Paul Wolfo-witz dalam sebulan terakhir, kini negeri ini memperlihatkan betapa ia punya alternatif di luar Amerika Serikat—sekaligus menunjukkan bargaining power yang berarti.
Di lain pihak, bagi Mahmud Ahmadinejad, Presiden Iran yang berhaluan konservatif, inilah momen yang paling t-e-pat untuk menyatukan aneka elemen kekuatan di negeri-nya. Dan kini, warga Iran, baik radikal maupun moderat, konservatif maupun progresif, dapat melupakan perbedaan untuk menghadapi musuh bersama: Amerika Serikat dan kawan-kawannya.
Semua orang tahu, krisis berangkat dari rasa cemas dan curiga. Iran yang mempunyai bom nuklir adalah kemungkinan lima sampai sepuluh tahun yang akan datang—direktur intelijen Amerika Serikat sendiri menyatakannya. Iran mengaku tidak berminat memiliki kemampuan itu. Tapi mungkin yang paling penting adalah menjelaskan me-ngapa perlakuan yang sama tidak ditujukan kepada ne-gara-negara nuklir: India, Pakistan, Israel, dan Brasil, si pendatang baru. Banyak waktu dan alternatif yang bisa diambil untuk menawarkan curiga dan memadamkan cemas, sekaligus mengakomodasi kepentingan Iran buat mempu-nyai sumber energi lain, tanpa meninggalkan kesan mendikte ataupun mengikis hak suatu negara untuk memutuskan pilihannya sendiri.
Iran memang bukan Korea Utara, yang merasa nyaman- dengan isolasi dunia luar. Negeri dengan mayoritas pendu-duk (dua pertiga) di bawah usia 30 tahun ini sangat mem-butuhkan investasi asing. Pemerintah Iran menyadari, perlahan-lahan kondisi ekonomi akan memburuk manakala isolasi mulai efektif, dan harga minyak—sekarang di atas US$ 70 per barel—kembali ke titik normal. Tapi masalah dalam negeri Iran tentu tak bisa disederhanakan menjadi masalah ekonomi semata. Dan yang paling penting, demo-krasi tumbuh di Iran, dan rakyat memilih Ahmadinejad yang sekarang berdiri, berhadap-hadapan dengan Amerika dan sekutunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo