Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syu’bah Asa
Hendaklah kamu mendengarkan dan patuh, walaupun yang dijadikan pemimpin kamu budak habsyi yang kepalanya seakan-akan anggur kering.”
Dalam bayangan saya, budak habsyi yang kepala (rambut)-nya seakan-akan anggur kering, dalam hadis Nabi riwayat Bukhari, itu Barack Hussein Obama. Bersama lebih dari 100 ribu manusia yang mengelu-elukannya di Grant Park Chicago, Amerika Serikat, di saat inaugurasi kemenangannya yang dramatis untuk menduduki kursi presiden ke-44 Amerika Serikat, dua minggu lalu, saya mengagumi indahnya demokrasi di salah satu negara terbesar dunia itu.
Tapi, apa boleh buat, sebagian orang akan cemburu pada ungkapan seperti itu. Bagaimana bisa, di dunia pasca-Usamah bin Ladin sekarang ini, ketika barisan-barisan pasukan Amerika dan sekutu-sekutunya di Irak serta Afganistan dan lain-lain bertegang membagi bumi menjadi belahan Barat yang ”merdeka” dan dunia Islam yang ”penuh teror”, kita menyeret hadis kepemimpinan model Islam itu ke kancah demokrasi Barat yang sesungguhnya tidak selalu bisa dipegang (yang seperti dalam kasus Obama, tidak memberi kita jaminan perubahan dalam masalah Israel dan Palestina, misalnya, ataupun hak nuklir Iran)?
Baiklah. Betapapun, cukup indah untuk lebih dulu melihat hadis tersebut tanpa menyangkutkannya dengan konteks. Ada dua segi, tentu saja, yang bisa ditarik, dan Anda diharapkan bersabar. Pertama, ajaran tentang kesetaraan manusia. Ini memang kuat sekali di dalam Islam. Khotbah terakhir Nabi, di Mina, menyebut jenis-jenis bangsa berkulit putih, hitam, merah (Ethiopia), dan kuning (Turki, Asia Tengah) yang beliau nyatakan sederajat, dan hanya takwa yang membedakan mutu semuanya. (Sementara itu, bahkan pada dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda masih membagi-bagi derajat para kawula berdasarkan warna kulit.)
Karena itu, sejarah tidak pernah mencatat rasisme berkembang di negeri-negeri Islam—bahkan tidak dengan intensitas sepersekian saja dari yang di Eropa dan Amerika. Hal yang mengingatkan kita pada pembantaian muslim Bosnia, oleh etnis Serbia, sudah terjadi dalam jumlah berlipat-lipat di zaman sangat lama berselang, di masa setelah Granada, Spanyol, jatuh pada 1492: pada 1507, di bawah Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, dilakukan pembasmian penduduk Arab dan Yahudi yang selama itu hidup bersama dalam pemerintahan Islam, kecuali mereka bersedia dibaptis menjadi Katolik (Thomas Arnold, Preaching of Islam; Karen Armstrong, Battle for God).
Sementara itu, Quran mengingatkan ciri kita yang ”berbangsa-bangsa dan bersuku-suku”, juga ”perbeda-bedaan lidah (bahasa) kamu dan warna kulit kamu”, semuanya diciptakan bukan agar kita memikirkan penaklukan, tema yang selalu hinggap di kepala bangsa-bangsa Romawi, Sparta, Tartar, atau yang lain, melainkan agar kita ”berkomunikasi” (Q 49:13, 30:22).
Hanya, komunikasi belum lagi demokrasi. Dan itulah segi yang kedua. Suatu hari Rasulullah menggelar pertemuan dengan banyak sahabat. Acara: persiapan menghadapi serangan tentara Mekkah. Nabi menyarankan agar musuh ditunggu saja di dalam benteng Madinah, tindakan yang juga lebih aman untuk keselamatan perempuan dan anak-anak. Tapi, sebagian sahabat, khususnya golongan muda (yang baru mabuk kemenangan Perang Badar), sebaliknya mengusulkan menjemput musuh di luar kota. Desakan ini keras sekali. Dan apa yang terjadi? Nabi membiarkan diri beliau kalah. Mereka berangkat ke Perbukitan Uhud.
Dan segera Nabi menghadapi kenyataan terdapatnya dua kelompok prajuritnya yang membelot dan berbalik pulang. Lalu berhadapan dengan musuh. Lalu bencana besar menimpa tentara Islam waktu itu. Nabi sendiri dikabarkan gugur. Tidak. Hanya patah gigi beliau, kena serpihan perisai yang menancap di pipi (dan dibersihkan putri beliau, Fatimah, di belakang, sambil menangis). Tapi bagaimana sikap Nabi sesudah itu? Ayat 3:159 yang kemudian turun tetap memujikan pekerti lembut kepada para sahabat (anak buah), dan tetap memerintahkan, ”Ajaklah mereka bermusyawarah dalam perkara.” Itulah ”demokrasi”.
Budak habsyi yang rambutnya seakan-akan anggur kering itu barangkali seorang pemimpin menengah, yang diangkat atasannya dan harus dipatuhi bawahannya agar segala urusan jalan. Tapi tidak mustahil juga dia seorang wasir—menteri—di zaman kesultanan nanti. Dan mengapa tidak mungkin seorang pemimpin puncak? Siapa bisa memastikan pikiran Nabi? Dan pemimpin puncak yang berasal dari lapisan paling bawah, apa pun warna kulitnya, yang naik ke atas lewat jalan damai (pemilihan), hanya ada dalam alam demokrasi.
Dan itulah yang, sayangnya, dalam sejarah Islam hanya ”hampir terjadi”. Pemerintahan para penerus Nabi, para Khulafa Rasyidun, sebenarnya diangkat dengan semangat pemilihan yang belum berbentuk—penerusan watak kabilah Arab yang egaliter. Abu Bakar menjadi khalifah secara aklamasi. Umar ibn Khatthab ditetapkan lewat wasiat Abu Bakar tapi dengan ”dicek” dulu kepada ”orang-orang di masjid”, para sahabat senior. Penetapan Utsman dilakukan dengan pemilihan oleh formatur enam orang. Sementara itu, Ali diangkat massa sesudah terjadinya pembunuhan Utsman, dan baru kemudian para tetua berbaiat.
Dalam ”suasana mencari-cari” itulah terdengar komentar Mu’awiah, gubernur Syam, mengenai pengangkatan Ali yang tidak disetujuinya. Katanya, ketika wilayah Islam sudah meluas seperti waktu itu, ”Seharusnya pemilihan khalifah bukan hanya urusan orang Madinah.” Ini kalimat yang bagus—yang sekiranya dilanjutkan dengan tindakan-tindakan, oleh siapa pun, yang sejalan dengan, misalnya, kehendak penyempurnaan teknik pengangkatan khalifah dari yang dikritik Mu’awiah, siapa tahu akan didapatkan sebuah sistem—walaupun sementara—yang lebih representatif. Dan semangat demokrasi yang diundangkan Nabi akan makin mendapatkan tubuhnya.
Tapi tidak. Mu’awiah-lah, tokoh jenius itu, yang kemudian menutup peluang luas bagi potensi pemilihan bebas itu dengan, sial sekali, mengadopsi sistem kerajaan lewat pengangkatan putranya, Yazid. Selesai.
Memang masih ada kelompok yang memakai cara pemilihan untuk imam (kepala pemerintahan) mereka, yakni kaum Khawarij. Hanya, jemaah minoritas yang dikenal lurus, adil, dan supermilitan ini (yang antara lain bertanggung jawab atas pembunuhan Khalifah Ali, dan sedianya juga Mu’awiah, yang selamat), pada akhirnya saling menghancurkan diri sendiri dari sebelah dalam, karena kefanatikan mereka sendiri, dan musnah dalam sejarah. Kekhalifahan sudah menjadi turun-temurun sekarang, dan selebihnya tegak lewat kudeta. Sampai datang masanya, di belakang hari, Kemal Ataturk menumbangkan Khalifah Dunia Islam terakhir, dari Dinasti Utsmani (Ottoman) di Turki, pada perempat pertama abad ke-20.
Begitulah demokrasi itu, semangat persamaan, keterbukaan, dan emansipasi muncul dari Nabi, seakan mencari-cari tempat berpijak pada masa para Khulafa Rasyidun, dan mati di tangan Mu’awiah. Dan yang diambil generasi belakang kemudian bukanlah nilai—dari sabda Rasulullah itu—tapi gambar, yaitu bentuk kekhalifahan. Bukan hadis, tapi tradisi. Kekhalifahan yang seakan-akan penyelamat dunia. Yang sebenarnya, lepas dari masa Khulafa Rasyidun, pada umumnya dekaden, despotis, dan tidak urung tak pernah mampu menyatukan umat sedunia. Kekhalifahan yang dipandang dengan mata romantis remaja dan berkuasa mutlak seumur hidup.
Pengalaman Ikhwanul Muslimun di Mesir bisa dijadikan contoh. Sepeninggal imamnya, Hasan al-Banna, yang gugur oleh peluru kaki tangan Raja Farouk, penggantinya, Ismail Hudaibi, makin lama makin mengecewakan umat, terutama oleh pribadinya yang lemah, khususnya di hadapan pemerintah. Namun Hudaibi tak bisa diganti: dalam Islam, imam menjabat seumur hidup.
Begitulah orang mempertahankan formalitas lahir. Bahwa apa yang terjadi di masa lampau bersifat tetap, tidak bisa diubah. Seperti ketika Abu Bakar Ba’asyir keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia dengan alasan sifat kepemimpinan dalam MMI yang konon ”ramai-ramai”, dan bukan berdasarkan konsep ”imam dan jama’ah” seperti yang diteladankan Nabi, dengan wewenang imam yang tentunya ”tidak tersaingi”.
Sementara itu, dunia sudah berubah. Suka tak suka, budak habsyi yang berambut bagai anggur kering, yang disabdakan Nabi, itu sekarang muncul dari selangkangan ratusan ribu manusia yang berdiri di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Ia tegak dengan cantiknya, di panggung itu, mendukung harapan seluruh dunia. Ia sudah bukan dari kalangan Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo