Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dari Sarana ke Mana-mana

Pekan ini kejaksaan akan memeriksa mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra terkait kasus dana Sistem Administrasi Badan Hukum. Kucuran dana para notaris itu tidak hanya masuk kantong para petinggi Departemen Hukum, tapi juga dipakai untuk membiayai kegiatan istri pejabat.

17 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Profesor Romli Atmasasmita pucat. Dengan gemetar, perlahan-lahan, pria 64 tahun ini membubuhkan tanda tangannya di kertas di depannya. Isinya: pernyataannya menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Begitu dia selesai menggoreskan tanda tangannya, dua pengacara Romli, Juniver Girsang dan Denny Kailimang, menarik napas lega. Sebelumnya, kedua pengacara itu berkali-kali memberikan isyarat kepada penyidik agar segera menyudahi pemeriksaan. Mereka khawatir, lantaran pemeriksaan lebih dari lima jam itu, guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, yang dikenal vokal meneriakkan perang melawan korupsi tersebut ambruk.

Para penyidik memang belum sepenuhnya mengorek keterangan dari mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia ini. Kendati demikian, pemeriksaan itu tak otomatis membuat Romli bisa pulang. Sebaliknya, penyidik memerintahkan penahanan Romli. Perintah itu membuat Romli meradang. ”Ini semua sudah diskenariokan,” kata Romli. Sore itu Romli resmi menjadi penghuni rumah tahanan Kejaksaan Agung.

Pakar hukum pidana yang juga perumus Undang-Undang Antikorupsi itu terjerat kasus korupsi program Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Departemen Hukum. Inilah sistem layanan pengurusan izin dan perubahan badan hukum yang diselenggarakan secara online melalui situs http://www.sisminbakum.com. Proyek ini merupakan kerja sama antara Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum dan PT Sarana Rekatama Dinamika. Adapun duitnya masuk ke rekening Sarana. Baru dari Sarana, Koperasi mendapat bagian 10 persen.

Sebelum Romli, sudah ada dua tersangka dalam kasus ini yang ditahan, yakni Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Syamsudin Manan Sinaga dan mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Zulkarnain Yunus.

Kejaksaan sudah memiliki sejumlah bukti tersangkutnya Romli dalam kasus ini. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, ada sejumlah dokumen yang menunjuk Romli layak bertanggung jawab terhadap proyek Sistem Administrasi Badan Hukum yang menghimpun duit ribuan notaris itu. Selain menjadi penggagas, Romli menunjuk pemanfaatan duit hasil sistem itu. Sejak diluncurkan sekitar tujuh tahun lalu, menurut hitungan kejaksaan, sistem ini sudah mengumpulkan duit Rp 400 miliar.

Salah satu bukti yang dikantongi kejaksaan adalah sepucuk surat Romli kepada pengurus Koperasi pada 14 Juni 2001. Dalam surat itu, Romli selaku Direktur Jenderal Administrasi, meminta Koperasi mengelola Sistem Administrasi Badan Hukum. Inilah yang menurut Marwan membuka peluang untuk memanfaatkan dana itu buat segala keperluan. ”Padahal harusnya dana itu masuk kas negara,” kata Marwan.

Kejaksaan juga telah menyita surat perjanjian kerja sama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dengan Koperasi Pengayoman yang ditandatangani Romli. Perjanjian itu mengatur pembagian dana 10 persen dari akses fee yang masuk ke rekening Koperasi. Berdasarkan perjanjian itu, pembagian diatur: enam persen untuk Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dan empat persen ke Koperasi.

Ada dosa lain Romli yang ditemukan penyidik. Sebagai direktur jenderal, Romli setiap bulan menerima sedikitnya Rp 5 juta dari pembagian fee Koperasi. Menurut Marwan, kendati Romli mengambil duitnya, ia selalu menolak menandatangani kuitansi yang disodorkan. ”Ini keterangan dari saksi-saksi yang kami periksa,” kata Marwan. Ini, ujar Marwan, berbeda dengan Zulkarnain dan Syamsudin. Zulkarnain selalu menandatangani kuitansi yang disodorkan. Adapun Syamsudin belakangan seperti Romli: mau duitnya, tapi ogah memberikan tanda tangan. Ditemui Tempo pekan lalu, Romli membantah tuduhan terhadap dirinya itu. Ia menegaskan tidak melakukan korupsi terhadap proyek itu.

Kejaksaan memang terus memburu dokumen yang bisa dipakai untuk mengungkap korupsi yang dilakukan para petinggi Departemen Hukum. Menurut sumber Tempo, kejaksaan kini juga bersiap menyita dana pungutan Sistem Administrasi Badan Hukum di kas Koperasi yang masih tersisa Rp 2 miliar.

Dua dokumen yang paling diburu adalah bukti ”keluar-masuk” duit di kas Koperasi Pengayoman dan rekening PT Sarana. Menurut sumber Tempo, salah satu ”harta karun” yang sudah dimiliki penyidik kejaksaan adalah buku Koperasi Pengayoman yang berisi catatan ke mana saja duit hasil Sistem Administrasi Badan Hukum itu mengalir. Tak hanya ke para pejabat direktorat, di situ misalnya tercatat ada yang ”mengalir” pula ke istri Yusril Ihza Mahendra, Sukesih. Jumlahnya sekitar Rp 15 juta. Duit sebesar itu untuk ”sangu” perjalanan Sukesih ke luar negeri. Pekan ini kejaksaan berencana memanggil Sukesih untuk meminta keterangan.

Dana miliaran rupiah itu memang dipakai buat banyak hal. Tidak hanya untuk ”bancakan” para pejabat Departemen Hukum, tapi juga buat berbagai kegiatan dan keperluan departemen, termasuk perjalanan ke luar negeri. Romli, misalnya, selain pernah menerima US$ 40 ribu, tercatat pernah menggunakan US$ 2.000 untuk perjalanan ke luar negeri. Sejumlah dosen Universitas Indonesia juga tercatat pernah menerima duit ini. Mereka menerimanya setelah diundang sebagai pembicara oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Jumlahnya berkisar antara Rp 2 juta dan Rp 3 juta.

Menurut Marwan, dana ini juga mengalir ke beberapa menteri hukum. Siapa menteri itu, Marwan emoh mengungkapkan. Yang pasti, sistem itu sendiri sudah pernah berada ”di bawah” sejumlah menteri. Mereka adalah Yusril Ihza Mahendra, Baharuddin Lopa, Marsillam Simandjuntak, Mahfud Md., Muladi, Hamid Awaludin, dan Andi Mattalata.

Keberadaan Sistem Administrasi Badan Hukum itu sempat mengalami ”pasang-surut” di bawah masing-masing menteri. Hamid Awaludin, misalnya, sempat mengirim surat ke Menteri Keuangan mempertanyakan legalitas pungutan tersebut. Surat dibalas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Januari 2007: Sistem Administrasi Badan Hukum masuk kategori kelompok penerimaan negara bukan pajak.

Pengurus Ikatan Notaris Indonesia juga pernah mengirim surat ke Marsillam Simandjuntak, meminta pelaksanaan sistem itu tidak berlangsung ketat. Ikatan Notaris meminta, selain lewat online, anggotanya tetap bisa memakai sistem manual. Menurut seorang anggota Ikatan Notaris, permintaan ini dikabulkan Marsillam. ”Sayang, Marsillam tidak lama jadi menteri. Begitu dia ditarik jadi Jaksa Agung, sistem itu kembali lagi sepenuhnya ke online,” ujar sang notaris.

Kejaksaan kini tengah berupaya menelisik catatan keluar-masuk duit pada rekening Sarana Rekatama Dinamika. Penyidik yakin justru dari sinilah paling banyak duit itu mengalir. Rekening Sarana di Bank Danamon di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, sendiri telah diblokir. Kejaksaan sudah meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menelisik ke mana saja duit dari rekening Sarana ini mengalir.

Menurut ketua tim penyidik, Faried Harianto, pihaknya telah menelusuri jejak rekening itu. ”Jejaknya berliku-liku,” ujarnya. Dana itu ternyata tak hanya menumpuk di rekening Sarana di Bank Danamon Sudirman. Dari Sudirman, dana itu dioper ke Bank Danamon cabang Kebon Sirih. Dari sini lantas ”terbang” ke sebuah bank di luar negeri. Sejumlah petinggi Sarana sudah dipanggil kejaksaan. Selasa lalu, misalnya, kejaksaan meminta keterangan Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo dan Hartono Tanoesoedibjo, pemilik Sarana.

Pekerjaan besar kini memang berada di depan pasukan Marwan: mengurai dan membongkar tuntas ”skandal Sisminbakum”. Menurut sumber Tempo, lantaran menyentuh sejumlah orang penting, bisa jadi para penyidik kejaksaan bakal ”terantuk-antuk” memeriksa kasus ini.

Selain memeriksa Sukesih, pekan-pekan ini kejaksaan akan memanggil Yusril Ihza Mahendra dan sejumlah orang lain yang ditengarai pernah menerima duit dari Koperasi Pengayoman ataupun PT Sarana. Ditemui Tempo, Rabu pekan lalu, Yusril menyatakan tidak ada korupsi yang dilakukannya terhadap proyek Sistem Administrasi Badan Hukum. Ia juga mempersilakan kejaksaan memeriksa Sukesih. ”Silakan buktikan saja,” ujarnya. Drama duit Sistem Administrasi Badan Hukum ini memang masih panjang dan, agaknya, akan menampilkan ”bintang-bintang” baru.

Ramidi, Rini Kustiani, Munawwaroh, LRB


Bagi-bagi Rezeki

Dari duit yang masuk ke PT Sarana:

  • >10 persen untuk koperasi. Koperasi membagi lagi: Untuk Dirjen 6 persen dan koperasi 4 persen.
  • >90 persen untuk Sarana.

Dialirkan tiap bulan:

  • Dirjen Administrasi Hukum Umum Rp 10 juta
  • Sekjen Rp 5 juta
  • Para direktur Rp 5 juta
  • Kepala Subdirektorat Rp 1,5 juta

Dipakai juga:

  • Rapat dan kegiatan direktorat, termasuk seminar, antara lain dengan para dosen Universitas Indonesia dan jaksa.
  • Biaya perjalanan dinas pejabat, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain ke Praha.
  • ”Sumbangan” ke istri para pejabat Departemen Hukum, antara lain ke istri Yusril Ihza Mahendra.

Diduga Bertanggung Jawab
Tiga direktur jenderal

  • Syamsudin Manan Sinaga (tersangka)
  • Zulkarnain Yunus (tersangka)
  • Romli Atmasasmita (tersangka)
  • Sejumlah pengelola PT Sarana

Dari Online Mengalir Fulus

Kasus proyek Sistem Administrasi Badan Hukum, yang membuat pundi-pundi PT Sarana Rekatama Dinamika—dan sejumlah pejabat Departemen Hukum—gemuk, terus memakan korban. Pekan ini kejaksaan akan memeriksa lagi mereka yang diduga kecipratan dana itu.

1 September 2000
PT Sarana mengajukan permohonan sebagai pengelola Sistem Administrasi Badan Hukum.

4 Oktober 2000
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan putusan pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum.

10 Oktober 2000
Yusril menunjuk Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum dan PT Sarana sebagai pengelola dan pelaksana sistem berbasis online ini.

8 November 2000
Koperasi Pengayoman dan Sarana mengikat kontrak kerja sama. Yusril, sebagai pembina koperasi, turut menandatangani. Jangka waktu perjanjian 10 tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001.

14 Januari 2001
Romli selaku Dirjen Administrasi Hukum Umum mengirim surat ke Koperasi Pengayoman. Meminta pendapatan dari sistem itu digunakan untuk menunjang kelancaran tugas Direktorat Administrasi Hukum Umum.

8 Februari 2001
Romli menerbitkan surat edaran kepada notaris tentang pelaksanaan dan access fee.

28 Maret 2001
Romli mengeluarkan edaran tentang pemberlakuan efektif Sistem Administrasi Badan Hukum dan dihapusnya sistem manual.

25 April 2003
Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyimpulkan Sistem Administrasi Badan Hukum melanggar Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

24 April 2004
Romli berhenti dari jabatan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, digantikan Zulkarnain Yunus.

Oktober 2008
Kejaksaan Agung mulai menyelidiki dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum.

24 Oktober 2008
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum Syamsudin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus sebagai tersangka.

7 November 2008
Romli ditetapkan sebagai tersangka. Tiga hari kemudian ditahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus