Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Digdaya

Kasijanto Sastrodinomo*

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Digdaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cukup menarik ketika kata lawas digdaya muncul kembali dalam situasi kekinian, seperti terbaca pada sebuah iklan komersial di majalah ini dengan teks “Inspirasi Berkesinambungan untuk Indonesia Digdaya” (Tempo, 19-25 Agustus 2019). Lalu Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar pawai yang bertajuk “Parade Digdaya Nusantara” dalam rangka Pekan Kebudayaan Nasional 2019. Namun kedua teks itu tak punya kaitan apa pun. Iklan dipasang oleh sebuah perusahaan swasta, sedangkan (tema) pawai diarak oleh salah satu instansi pemerintah.

Mungkin, tanpa perjanjian apa pun sebelumnya, kedua penulis teks tersebut sama-sama mencari kata yang dipandang kuat untuk mengekspresikan sifat unggul negara atau bangsa. Pada iklan, kata digdaya melukiskan kekukuhan eksistensial negara-bangsa (Indonesia) yang terus tumbuh berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Sebagai tema pawai, digdaya dibayangkan serupa dengan elemen “kekuatan dalam” ragam budaya Tanah Air yang subtil dan canggih. Pemakaian digdaya itu semacam memory image (meminjam istilah psikologi) atau kesan ingatan yang memantulkan daya-daya hebat bangsa ini sejak masa-masa lampau yang terus mewujud hingga kini.

Ditilik dari kelaziman pemakaiannya, digdaya bisa dikatakan tergolong kata arkais—dalam arti berasosiasi dengan imaji kelampauan, bahkan kepurbaan, yang tak jelas kronologi waktunya dan, untuk sebagian, mungkin dianggap layaknya “cerita” belaka. Dalang wayang kulit di Jawa, contohnya, biasa melukiskan kedigdayaan Raden Gatutkaca sebagai kesatria yang ora tedhas tapak paluning pandhé alias tak mempan oleh hantaman landasan penempa besi sekalipun. Sejak lahir ke mayapada, satria Pringgandani itu digembleng dalam Kawah Candradimuka sehingga, menurut suluk Ki Dalang, punya “otot kawat, balung wesi, kulit tembaga”.

Pengarang sastra peranakan Tan Boen Swie—contoh yang lain—menulis novelet Digdaja (1935; ejaan asli), yang bercerita tentang orang-orang superkuat di Surakarta dan Yogyakarta. Mereka disebut “wong pinggiran” karena tinggal di wilayah yang jauh dari radius keraton. Ditelusuri sejarawan Sri Margana, wong pinggiran yang serupa dengan cerita itu ternyata berasal dari Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur sekarang, yang direkrut jadi prajurit Mataram. Di tempat asalnya, wong digdaya dikenal punya ilmu magi atau kekuatan supernatural, campuran animisme dan mistisisme Islam, yang berawal pada abad ke-16.

Kamus-kamus umum bahasa Indonesia menakrifkan digdaya sebagai “tidak terkalahkan”, “sakti”, dan “kebal”. Sebagai contoh lagi, di Desa Beru, Kabupaten Sampang, Madura, dikenal orèng kesaktéan sejak berabad-abad lampau. Mereka itu kiai berpengaruh yang diyakini punya kuasa dan mampu berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam. Kiai Sariman, salah satu keturunan orang sakti asal Batu Ampar, misalnya, dipercaya bisa terbang ke Tanah Suci ulang-alik setiap waktu. Apa pun yang terkena “efek penerbangan”-nya akan terempas ke bumi (lihat Elly Touwen-Bouwsma, Staat, Islam en lokale leiders in West Madura, Indonesië, 1988).

Contoh sekilas tersebut memperlihatkan bahwa subyek atau aktor berpredikat digdaya bisa berupa tokoh rekaan ataupun dipercaya nyata adanya. Sifatnya individual karena wujud kedigdayaan atau kesaktian juga khas dan personal. Dalam pakem pewayangan, kedigdayaan itu privilese paten para dewa, resi, raja, dan kesatria. Di alam nyata, meskipun lebih “inklusif”, kedigdayaan tetap terbatas dimiliki individu tertentu yang terpilih—dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai wong linuwih. Merekalah orang yang teruji melalui olah kanuragan yang sangat berat dan biasanya dibarengi laku asketik, gaib, atau keramat.

Subyek pada frasa “Indonesia Digdaya” ataupun “Digdaya Nusantara” yang telah disebut tentu bukan lagi individu, tapi bergeser ke institusi negara atau bangsa. Ini mengingatkan kita pada kata superpower (diterjemahkan menjadi adidaya) yang disematkan kepada negara tertentu. Dalam tautan ini, kedua kata tersebut sama-sama “merayakan” unsur kekuatan yang luar biasa pada negara. Namun segera terlihat beda di antara keduanya: digdaya mengimajinasikan kekuatan adikodrati yang meruang dalam titian waktu yang eternal, sedangkan superpower merujuk pada keperkasaan “teknikal”—diplomasi dan senjata—kelompok negara besar seusai Perang Dunia.

Maka digdaya, dibanding superpower, terasa bermakna lebih dalam. Ungkapan “digdaya tanpa aji” menyiratkan dimensi kedalaman itu: suatu kekuatan bukanlah pertama-tama terletak pada topangan kehebatan aji-aji alias senjata dan semacamnya. Kekuatan yang sejati terletak pada—jika mengutip bahasa pewayangan itu—ajining diri yang kukuh.

*) KOLUMNIS, ALUMNUS FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus