KITA tampaknya makin memerlukan para spesialis baru -- spesialis perubahan. Tiap saat diam-diam ada yang berubah di dunia ini. Dan sejak itu, hidup manusia bakal tak bisa berulang lagi seperti hidup yang dulu. Tapi kita tak tahu persis bagaimana. Mungkin karena itu kita butuh orang seperti Alvin Toffler atau Peter Drucker atau Sukinem atau Ali Baronang atau siapa saja yang bisa menganalisa dan menunjukkan dengan meyakinkan (dan mungkin dengan kecemasan), "Nak, dunia berubah lebih cepat dari mimpi. Harapanmu kemarin sore lebih baik kau copot pagi ini." M. Hadi Soesastro, ahli ekonomi yang selalu mengesankan data, analisa, dan daya tiliknya itu, suatu hari memberi saya satu kopi risalah Peter Drucker dalam Majalah Foreign Affairs, "The Changed World Economy". Perubahan-perubahan fundamental yang bergerak dalam perekonomian dunia, yang selama ini tak kita sadari sepenuhnya tiba-tiba jadi terang bagi saya di sana. Dan sedikit mengecutkan. Tak seluruh tulisan Drucker sebuah pernyataan baru. Namun, bagi yang orang yang datang dari negeri Dunia Ketiga, Drucker bisa seperti membawa kabar kemalangan. Kita sudah tahu bahwa hasil bahan mentah yang dijual oleh negeri seperti Indonesia ke pasaran dunia selalu terombang-ambing harganya. Hari ini apa lagi: nilai bahan mentah sudah "rubuh", kata Drucker. Menjelang awal 1986, harga bahan mentah, jika dihubungkan dengan harga jasa dan barang hasil industri, menurut Drucker, berada pada "tingkat paling rendah dalam catatan sejarah". Pada umumnya bahkan serendah harga di hari-hari tersuram Depresi Besar tahun 1930-an -- ketika petani karet dari Sumatera bicara sedih tentang "aman meleset ". Yang menarik ialah, kata Drucker pula, teori ekonomi lama tak terbukti: merosotnya perekonomian bahan mentah itu hampir tak punya dampak buruk pada perekonomian dunia industri. Memang kini ada gejala ekonomi melembek di "Utara" yang industrial itu, tapi yang terjadi bukan suatu depresi. Kesimpulan Drucker: perekonomian bahan mentah kini sudah "lepas kaitan" dari perekonomian industrial. Yang terakhir tak begitu butuh lagi apa yang dihasilkan oleh yang pertama. Barang hasil teknologi kian sedikit perlu hasil tambang atau hasil hutan. Lihatlah kawat tclepon: 50 atau 100 pon kabel yang dibuat dari fiberglass bisa sama bagusnya dengan satu ton kabel tembaga. Maka, bernasib buruklah negeri penghasil tambang tembaga. Dan ketika negeri seperti ini, seperti Indonesia ini, ingin jadi negeri industri juga, agar tak terpojok terus, pertanyaan yang timbul: Apa kelebihannya buat bersaing dengan negeri industri yang sudah lebih dulu maju? Jawabnya yang lazim: kita punya ongkos buruh yang lebih murah dibanding dengan mereka. Sayangnya, Drucker menunjukkan perubahan yang kini terjadi. Perekonomian industrial juga telah "lepas kaitan" dari soal tenaga kerja. Trend ini sebetulnya tak baru. Tapi kini prosesnya kian cepat, bersama cepatnya penemuan teknologi baru ke arah otomatisasi. Di Jepang beberapa tahun yang lalu saya pernah melihat pabrik yang hampir sepenuhnya menggunakan robot untuk membuat mesin -- dan karena robot, bisa 24 jam bekerja terus, tak bikin kesalahan dan tak ikut serikat buruh. Drucker menyebut apa akibatnya. Pabrik televisi Motorola dan RCA di Amerika pernah terancam bangkrut karena disaingi pabrik lain, yang menggunakan tenaga buruh murah di negeri seberang. Mereka segera melakukan otomatisasi. Mereka selamat. Dan bila kelak pabrik tekstil dan pabrik pakaian jadi di AS atau Jepang menemukan cara yang sama, kita tahu apa pengaruhnya. Ongkos tenaga kerja yang murah pada akhirnya akan tak begitu penting seperti ongkos yang dibayar buat mendapatkan modal. "Bagi Dunia Ketiga," tulis Drucker, "terutama bagi negeri yang sedang dengan cepat menjalankan industrialisasi . . . ini berarti berita buruk." Tapi tak semua pintu tertutup. Yang jadi persoalan besar ialah bahwa tak cukup tersedia konsepsi, dan mungkin sejenis keberanian, yang membimbing banyak orang dibuat memilih pintu yang mana. Drucker berbicara tentang bagaimana gerakan modal, nilai mata uang, dan arus kredit kini lebih besar ketimbang arus barang dan jasa, dan bagaimana "aksioma makroekonomi" selama ini guyah: perekonomian nasional tak sepenuhnya lagi bisa dianggap jadi satuan yang otonom. Jika kita slmak Drucker, ia tampaknya ingin menunjukkan bagaimana banyak negara kini harus berpikir lagi tentang apa arti "kedaulatan ekonomi", bahkan harga diri dan apa pula makna "ketergantungan". Suatu lembaga pengambilan keputusan yang "supranasional" harus dipikirkan terutama buat negeri seperti AS, Jerman, Jepang. Dan negeri-negeri berkembang seperti Meksiko harus bersedia menyimak kembali impian klasiknya yang tak ingin terpaut ("tergantung"?) dengan tetangganya yang lebih maju d Utara. Tak pelak lagi: yang suka Marx, atau Keynes, atau Gunder Frank, si Polan, dan lain-lain teori ekonomi, memang perlu merenung kembali. Drucker sendiri tak menawarkan pilihan lain. Sebagian pendapatnya bisa disoal, tapi perubahan yang dipaparkannya membuat saya -- dan mungkin juga Anda -- tak bisa cuma mengulang kajian lama. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini