Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Hoegeng dan Integritas Tanpa Batas

Dari Hoegeng kita belajar bahwa jabatan bukan hak istimewa untuk berbuat sewenang-wenang. Bapak Kepolisian yang belum tergantikan.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hoegeng dan Integritas Tanpa Batas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejarah hidup mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso.

  • Jenderal polisi jujur dan pemilik integritas tinggi.

  • Kapolri yang juga seniman.

JENDERAL Hoegeng Iman Santoso adalah referensi abadi bagi siapa pun yang mencari contoh pejabat jujur dan berani. Hingga hari lahirnya yang ke-100 tahun ini, Kepala Kepolisian RI 1968-1971 itu telah mewariskan keteladanan yang bertahan jauh melampaui generasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir di keluarga amtenar Belanda—ayahnya seorang Kepala Kejaksaan Karesidenan Pekalongan—Hoegeng tumbuh jauh dari watak kaum feodal. Dia justru memegang teguh ajaran bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa untuk berbuat sewenang-wenang, melainkan amanat untuk melindungi mereka yang lemah. Sampai akhir hayatnya, Hoegeng lebih dekat dengan orang biasa ketimbang penguasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selagi menjabat, Hoegeng mengajarkan betapa pentingnya menjaga integritas, yakni keteguhan moral untuk mengatakan serta melakukan apa yang diyakini benar secara universal. Dia juga membuktikan bahwa contoh perbuatan lebih penting daripada kata-kata, perintah, atau bahkan ceramah yang menyerukan kebajikan. Maka, ketika pejabat lain berbicara antikorupsi, Hoegeng telah menolak segala hadiah dari siapa pun yang dia duga menyimpan udang di balik badannya.

Bagi mereka yang menentang nepotisme, Hoegeng memberi contoh dengan melarang anaknya menjadi polisi agar tak mendapat perlakuan istimewa. Sewaktu pejabat lain beretorika soal hidup sederhana, Hoegeng menolak gaji ganda dan mobil dinas—yang sebetulnya adalah haknya—serta memilih tinggal di rumah kontrakan tanpa penjaga. Sementara pejabat lain membangun bisnis keluarga yang rawan benturan kepentingan, Hoegeng malah menutup toko kembang istrinya karena khawatir diborong orang yang mencari muka.

Selaku penegak hukum, Hoegeng tak pernah ragu membongkar kejahatan besar, termasuk yang melibatkan aparat atau pejabat. Tak surut menghadapi tantangan, Hoegeng tak silau oleh jabatan. Dia menolak posisi duta besar ketika Presiden Soeharto menghentikannya dari jabatan Kepala Polri—ketika Hoegeng mengusut penyelundupan ratusan mobil mewah.

Bila memakai standar moral yang umum berlaku, apa yang dilakukan Hoegeng semestinya merupakan laku biasa yang seharusnya dijalankan pejabat publik lain. Namun, bila ditakar dari kelakuan pejabat saat ini, orang seperti Hoegeng tampak begitu istimewa.

Di kepolisian, absennya tokoh seperti Hoegeng tak terlepas dari konstelasi politik saat ini. Setelah Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI berpisah—sesuatu yang sebenarnya baik—tak sedikit polisi yang menggunakan dominasi institusinya untuk mengeruk keuntungan pribadi. Dipegangnya sektor keamanan hanya oleh Polri memberikan kesempatan kepada banyak polisi untuk melakukan tindakan aji mumpung. Di pihak lain, sejumlah politikus sipil menggunakan polisi untuk mempertahankan kekuasaan.

Walhasil, tokoh seperti Hoegeng tak hanya langka di kepolisian. Di kalangan pejabat nonpolisi pun kita sulit mencari orang seperti dia. Maka, setiap kali kita membaca biografi Hoegeng, aneka pertanyaan berloncatan: mengapa polisi dan politikus sekarang jauh dari nilai-nilai Hoegeng? Mengapa banyak jenderal polisi yang justru terbelit perkara korupsi?

Langkanya pejabat seperti Hoegeng menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan kita bernegara. Bagaimana bisa, setelah 76 tahun merdeka, Indonesia justru gagal melahirkan pejabat yang layak menjadi cermin bagi generasi yang akan datang. Tesis orang baik yang mencuat pada 2014 seiring dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden menemukan tantangannya. Dalam sistem oligarkis, “Si Baik” pun mengoreksi sikapnya agar tak terlempar dari panggung kekuasaan.

Patut disadari, dengan segala kebaikannya, Hoegeng pun tak mampu membangun sistem yang membuat Kepolisian tetap baik, bahkan setelah dia tak menjabat. Kita tahu: Hoegeng terlempar setelah tiga tahun menjabat, lalu menjadi bagian dari Petisi 50—himpunan tokoh publik yang menentang kekuasaan Soeharto. Tapi, tak seperti pejabat lain yang mencari selamat, Hoegeng memilih jalan sunyi. Sebagaimana anggota Petisi 50 lain, ia mengalami kematian perdata.

Dalam sejarah Indonesia, Hoegeng bukan satu-satunya. Dari kalangan pendiri bangsa, kita pernah memiliki Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim—untuk menyebut beberapa. Berintegritas dan memiliki kapasitas intelektual, mereka lahir dari sebuah generasi ketika politik tak dapat dipisahkan dari kecendekiaan.

Lewat kecendekiaan, politik diletakkan dalam bingkai moral—bukan sekadar perebutan kekuasaan dan laku aji mumpung. Yang terakhir inilah yang hari-hari ini kita saksikan: moral dibuang jauh dan politik menjadi pertarungan brutal mereka yang sekadar mencari cuan.

Para cendekia menyingkir ke perpustakaan. Yang masuk kekuasaan berdiam diri atau membebek atasan. Beberapa lainnya berlomba menjadi anggota staf khusus: bahagia menjadi amtenar dengan sedikit tambahan penghasilan sebagai komisioner badan usaha milik negara.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus