Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nekropolitik diterapkan kepada masyarakat yang berada di posisi struktural yang rentan.
Praktik nekropolitik berkedok pengembangan pangan terjadi sejak zaman kolonialisme.
Masyarakat Malind diabaikan dan makin terjepit karena alam yang menjadi sumber kehidupannya makin rusak dan hilang.
PROYEK lumbung pangan (food estate) dan energi di Merauke, Papua Selatan, menjadi potret nyata praktik nekropolitik atau politik kematian oleh negara. Mirisnya, nekropolitik terhadap masyarakat di Merauke dengan berkedok pengembangan pangan berlangsung turun-temurun sejak zaman penjajahan Belanda. Kematian tanpa operasi tempur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nekropolitik (necropolitics) merupakan istilah yang dieksplorasi oleh filsuf Kamerun, Achille Mbembe. Secara istilah, "nekro" berasal dari bahasa Yunani yang berarti jenazah, mayat, atau kematian. Jika diartikan, nekropolitik adalah penggunaan kekuatan sosial dan politik untuk mendikte bagaimana orang boleh hidup dan harus mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik nekropolitik bukan sekadar kekuasaan untuk mendatangkan kematian, melainkan juga kekuasaan untuk membuat kehidupan tidak mungkin lagi dijalani. Nekropolitik diterapkan kepada masyarakat yang berada di posisi struktural yang rentan. Ia bertujuan mendehumanisasi dengan cara merampas martabat manusia dan menghancurkan ruang hidupnya. Penerapan teror menjadi fondasi berpolitik. Mbembe mencontohkan, praktik nekropolitik antara lain berupa perbudakan, apartheid, dan penjajahan Palestina.
Berbagai indikator praktik nekropolitik itu sangat jelas terlihat di Kabupaten Merauke, yang sejak 2024 menjadi pusat pengembangan pangan dan energi berlabel proyek strategis nasional (PSN). Mekanisme nekropolitik berjalan di Merauke dengan penguasaan lahan masyarakat, pengambilalihan kontrol atas mekanisasi dan tenaga kerja, serta pendisiplinan melalui kekerasan.
Praktik nekropolitik berkedok pengembangan pangan itu terjadi sejak zaman kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, sampai sekarang. Pada era kolonialisme Belanda, praktik nekropolitik dapat dilihat melalui pengembangan sawah serta peternakan oleh pekerja yang didatangkan dari Jawa dan Rote sejak 1910. Tanah dirampas dari orang asli Papua dengan cara memerangi dan membuang kepala-kepala suku Malind ke Ambon.
Investasi swasta mulai didatangkan sejak proyek sawah berskala luas bernama Proyek Kumbe dibangun di tepi Kali Kumbe, Distrik Malind. Pada 1943, Belanda mulai meneliti rencana pengembangan sawah dengan skala luas berbasis mekanisasi di Merauke. Tim ahli diterjunkan untuk meneliti kondisi tanah, air, potensi hama, hutan, dan satwa.
Belanda membuka proyek padi Kumbe pada 1951. Mobilisasi peralatan berat untuk membuka hutan dilakukan setelah lahan dinyatakan cocok buat pertanian padi sawah. Mesin-mesin pertanian modern didatangkan dan dioperasikan tanpa melibatkan orang Malind.
Belanda pun makin gencar mendatangkan orang-orang Jawa dan menempatkan mereka di sekitar Merauke. Setelah Proyek Kumbe, krisis tanah dan konflik horizontal kian menebal. Inilah indikator berjalannya nekropolitik. Konflik karena masalah tanah muncul di antara masyarakat Malind Anim dan berujung pada kematian. Ditambah konflik Papua dan non-Papua akibat rasialisasi serta ketimpangan.
Proyek padi Kumbe terhenti ketika Indonesia mengambil alih tanah Papua pada 1963. Setelah Belanda keluar dari Papua, masyarakat di Merauke tak terlepas dari tekanan. Transmigrasi bergelombang sejak era Orde Lama dan Orde Baru ditambah pengerahan militer makin mempersempit ruang hidup masyarakat Malind. Ketakutan menjadi bagian dari keseharian. Operasi militer pada 1984 di Merauke membuat ribuan orang asli Papua mengungsi ke Papua Nugini.
Zaman berganti, tapi praktik nekropolitik atas nama pangan di Merauke terus berlangsung. Setelah program transmigrasi menjadikan Merauke sebagai penghasil padi terbesar di Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate pada 2010.
Proyek food estate terbukti gagal. Lahan terbengkalai. Pemerintah kembali melanjutkannya menjadi proyek lumbung pangan nasional pada era Presiden Joko Widodo, yang diestafetkan sebagai PSN pangan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Megaproyek itu digarap di atas lahan seluas 2,29 juta hektare. Dari jumlah itu, seluas 1,11 juta hektare lahan dimanfaatkan untuk membuka perkebunan tebu terpadu, dari kebun tebu, pabrik gula, hingga pabrik bioetanol. Sedangkan 1,18 juta hektare lahan lain digunakan untuk pencetakan sawah padi.
Proyek food estate melibatkan kekuatan besar pemodal lewat Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Alat berat sudah mendarat di Merauke. Pemerintah pun menerjunkan tambahan tentara. Pada 2 Oktober 2024, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Agus Subiyanto meresmikan pembentukan lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan di Papua.
Di sisi lain, masyarakat Malind diabaikan dan makin terjepit karena alam yang menjadi sumber kehidupannya makin rusak dan hilang. Masyarakat bahkan sudah merasakan dampak kerusakan ekologis berupa banjir. Pada April dan Mei 2024, banjir besar yang tidak pernah terjadi dalam sejarah Merauke menyebabkan ribuan orang mengungsi.
Ketika banjir terjadi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra datang memeriksa sawah, alih-alih menemui korban banjir serta mencari solusi untuk mengatasi banjir. Peristiwa itu makin memperjelas bahwa rakyat dan masyarakat adat di Merauke dinihilkan. Masyarakat hidup dalam keadaan serba dipaksa atau koersi. Lahan dan ruang hidup mereka direnggut. "Kita kase tanah mati, tidak kase juga mati." ●