Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Surat Seorang Ibu Muda untuk Presiden Prabowo

Situasi negara belakangan ini membuat banyak orang marah. Seorang ibu muda menuliskan keresahannya dalam surat untuk Presiden.

24 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pemangkasan anggaran pendidikan membuat para orang tua khawatir biaya sekolah anak makin mahal.

  • Pembredelan karya seni, seperti lukisan Yos Sudarso dan lagu grup musik Sukatani, memperburuk kondisi kebebasan berekspresi.

  • Kekerasan polisi juga kian mengkhawatirkan.

HALO, Bapak Presiden Prabowo. Izin jump in, ya Pak. Perkenalkan, saya Stephania, janda dengan seorang anak yang baru berusia 3 tahun. Saya ingin menyampaikan berbagai keresahan sebagai ibu muda yang harus membesarkan anak seorang diri di negeri ini. 

Sebagai ibu, cita-cita saya sederhana saja, Pak. Saya ingin memberikan kehidupan yang sebaik-baiknya untuk anak saya. Namun situasi negara kita belakangan ini membuat saya gemas dan geram. Saya khawatir tak bisa menggapai cita-cita itu akibat berbagai kekacauan yang terjadi. 

Saya ingin cerita dulu. Belakangan ini, saya mulai mencari-cari informasi sekolah untuk anak saya yang tahun depan rencananya masuk pendidikan usia dini (pre-school). Tapi alangkah terkejutnya saya, biaya sekolah untuk tingkat awal saja sudah sangat mahal dan membuat dada sesak. 

Di saat kepala saya disesaki berbagai rencana, tiba-tiba ada kabar bahwa Bapak memangkas anggaran pendidikan, khususnya anggaran pendidikan dasar dan menengah sebesar Rp 8 triliun!

Memang, dalam beberapa pemberitaan, pemotongan anggaran demi penghematan itu hanya menyasar pos-pos anggaran yang dianggap tak terlalu penting, seperti seremonial dan perjalanan dinas. Tapi saya khawatir, secara tidak langsung, kebijakan itu akan membuat biaya sekolah untuk anak saya nanti kian melambung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Belum lagi kalau kita bicara soal mutu pendidikan. Dengan anggaran pendidikan yang makin berkurang, sudah pasti kesejahteraan guru kita terancam. Lalu bagaimana kualitas pendidikan bagi anak saya dan anak-anak Indonesia lainnya?

Andai saya adalah menantu seorang pejabat atau presiden. Tentu masalah ini bukan perkara besar. Saya tinggal mencari sekolah swasta untuk anak saya tanpa harus memikirkan biayanya. Tapi apalah saya, hanya seorang janda yang berharap mantan suami mau ikut membiayai sekolah anak kami nanti. Rasanya tak mungkin saya berharap kepada negara. Apalagi di situasi seperti sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Keresahan saya bukan hanya itu, Pak Prabowo. Sebagai ibu, saya pun ingin anak saya tumbuh dengan merdeka. Sejak usia 2 tahun, saya sudah mengajarkan anak saya menggambar dan melukis. Bagi saya, ekspresi lewat karya merupakan kemerdekaan paling sederhana yang bisa saya ajarkan. Sekarang dia mulai bisa menggambar rupa yang ada dalam isi kepalanya. Kadang dia menggambar mobil, monster, dan hal-hal lain yang ia amati serta gemari.

Pada ulang tahunnya yang ketiga, anak saya mendapat satu set drum sebagai hadiah. Di rumah papanya, dia juga diajarkan bermain keyboard. Wah, Bapak harus lihat wajah anak saya yang begitu antusias saat menggambar dan memainkan semua alat musik itu. Ia tampak serius sekali melakukan kegemarannya. Dengan melihat ekspresinya, saya bisa merasakan kelak anak ini bisa menjadi seniman hebat dan saya akan mendukungnya.

Namun, kalau melihat situasi belakangan itu, saya pesimistis impian tersebut bisa tercapai. Pada akhir tahun lalu, saya kaget membaca berita pembredelan pameran karya pelukis Yos Sudarso di Galeri Nasional. Saya jadi khawatir, apakah masa kegelapan Indonesia seperti masa Orde Baru, tak ada kebebasan individu untuk menuangkan isi kepala dalam bentuk karya seni sudah kembali? Apakah rezim Soeharto sudah kembali bergentayangan?

Saya makin khawatir setelah pekan lalu ada berita soal pembredelan lagu Bayar Bayar Bayar karya grup musik punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, Sukatani. Tak hanya dilarang menyiarkan lagu yang berisi kritik terhadap kepolisian, mereka juga dipermalukan, identitas mereka ditelanjangi di depan semua masyarakat. Hanya karena sebuah lagu!

Kejadian ini membuat ketakutan saya makin menjadi. Apakah kelak, proses membuat karya seni menjadi suatu hal yang sangat terlarang dan menakutkan di negeri ini? Saya tak bisa membayangkan hal sesederhana kebebasan berekspresi dan membuat karya seni menjadi sebuah perkara yang harus diperjuangkan melalui demonstrasi. Apakah sekarang kritik menjadi barang haram dan keadilan menjadi sebuah omong kosong? 

Apakah situasi penuh ketakutan seperti ini yang akan dihadapi anak saya di masa depan? Pak Prabowo, apakah ini masa depan yang Bapak tawarkan kepada kami? 

Oh ya, Pak. Saya juga punya cerita lain. Sebetulnya, selain senang menggambar dan bermain musik, anak saya senang sekali kalau melihat mobil polisi di jalan raya. Setiap kali kami bepergian dan bertemu mobil polisi yang warnanya mencolok serta lampunya yang berkelip itu, anak saya pasti dengan penuh semangat dan berbinar akan berseru gembira: "Mobil pulici!"

Namun saya sedih karena di balik mobil polisi yang dianggap keren oleh anak saya itu ada kisah kebrutalan institusi kepolisian. Tak henti-hentinya, sejak tahun lalu, kita menyaksikan, mendengar, dan membaca berita bagaimana polisi bertindak sangat brutal kepada masyarakat yang seharusnya mereka lindungi. 

Mulai dari peristiwa pembunuhan Alif Maulana, anak 13 tahun di Padang, Sumatera Barat, yang diduga disiksa polisi. Lalu penembakan Gamma Rizkynata Oktavandy, siswa sekolah menengah kejuruan di Semarang, Jawa Tengah, oleh anggota kepolisian dan berbagai kasus kekerasan lain yang melibatkan anggota korps ini. Saya tak sampai hati jika anak saya nantinya tahu betapa mengerikan institusi kepolisian ini. 

Pak Prabowo mungkin saat ini tidak bisa relate dengan berbagai keresahan dan kemarahan yang saya rasakan sebagai seorang ibu melihat situasi negara seperti ini. Membesarkan anak dan merawat kucing berbeda, Pak.

Bapak harus tahu betapa galaunya kami, para ibu, yang harus membesarkan anak pada masa kepemimpinan Bapak. Bagaimana saya harus menjelaskan kepada anak saya nanti bahwa di negeri tempat ia tinggal dan bertumbuh tak ada lagi yang namanya kebebasan belajar serta berekspresi. 

Saya takut anak saya yang saat ini begitu antusias mempelajari hal-hal baru harus tumbuh besar dalam situasi penuh ketakutan. Takut karena suatu saat nanti, bisa saja ia terkena hukuman atau dipermalukan hanya karena menyampaikan pendapat dan berekspresi. Takut kepada institusi yang seharusnya menjadi pelindung semua warga negara karena justru institusi itu tidak segan memberangus, bahkan membunuh orang tak bersalah.

Hidup macam apa yang akan dihadapi anak saya nanti? Apakah saya harus mengatakan kepada anak saya: "Nak, kelak kamu sulit berkarya. Tapi tenang, kamu dapat makan siang gratis! Enak atau enggak, disyukuri saja, ya." 

Hari ini saya marah sekali, Pak. Saya enggak tahu harus berbuat apa untuk meluapkan kemarahan ini. Sebagai ibu tunggal, saya enggak bisa turun ke jalan ikut berdemonstrasi. Situasi mengharuskan saya berdiam di rumah, menemani anak sambil terus memantau media sosial.

Satu-satunya hal yang bisa lakukan hanyalah menulis surat ini. Surat yang belum tentu Bapak baca karena mungkin Bapak sedang sibuk bermain dengan kucing. 

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stephania Shakila

Stephania Shakila

Penulis dan musikus, ibu seorang anak, tinggal di Bandung.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus