Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat
Sajak Kamar

Berita Tempo Plus

Jalan Sunyi Puisi Sufi

Ahmadun Yosi Herfanda

Ahmadun Yosi Herfanda

Sastrawan dan Pemimpin Redaksi Portal Sastra Litera. Menempuh karier jurnalistik sebagai penjaga rubrik sastra di harian Republika

Pernah muncul penyair-penyair sufistik. Tapi mereka menghilang setelah muncul kritik bahwa mereka pengekor Abdul hadi W.M.

 

1 Maret 2025 | 09.00 WIB

Abdul Hadi W.M di Jakarta, 2007. Dok. Tempo/Dimas Aryo
Perbesar
Abdul Hadi W.M di Jakarta, 2007. Dok. Tempo/Dimas Aryo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Sebagai pelopor puisi sufistik, Abdul Hadi adalah pelanjut Hamzah Fansuri.

  • Sempat muncul penyair-penyair sufistik, seperti Hamid Jabbar dan Emha Ainun Najib.

  • Para penyair generasi 2000-an menulis puisi religius dan sufistik dengan malu-malu kucing.

SETELAH Abdul Hadi W.M. meninggal, setahun lalu, banyak pengamat sastra bertanya-tanya, siapa penerus tradisi puisi sufistik? Siapa pelanjut gagasan-gagasan besar tentang sastra sufistik? Abdul Hadi seperti meninggalkan ruang kosong: mata rantai tradisi puisi sufistik yang terputus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaan itu muncul karena kebanyakan orang telanjur beranggapan bahwa sejarah kesastraan harus bersambung. Suatu kecenderungan atau mainstream sastra, yang dasar-dasar konseptualnya telah diletakkan oleh para pendahulu, haruslah berlanjut ke generasi berikutnya—dengan reaktualisasi konseptual, baik puitik maupun tematik, secara lebih matang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai pelopor puisi sufistik, Abdul Hadi adalah pelanjut Hamzah Fansuri, dan mata rantainya dapat dirujukkan kepada Jalaluddin Rumi serta Ibnu Arabi. Antara Abdul Hadi dan Hamzah Fansuri, ada nama penyair religius yang tidak bisa dilupakan, yakni Amir Hamzah. Pada era Abdul Hadi juga ada sastrawan sufistik semacam Kuntowijoyo, Danarto, dan Mustafa Bisri. Jika kita cermati, sebagian besar puisi Sutardji Calzoum Bachri sebenarnya juga sangat sufistik.

Setelah Abdul Hadi, sebenarnya pernah muncul penyair-penyair sufistik, seperti Hamid Jabbar dan Emha Ainun Najib, serta beberapa penyair generasi sesudahnya, semacam Acep Zamzam Noor, Achmad Syubanuddin Alwy, Soni Farid Maulana, Ahmad Nurullah, Nasruddin Anshory, dan Mathori A. Elwa. Kecenderungan sufistik puisi-puisi mereka pernah mengental ketika mereka sama-sama mengikuti Pertemuan Penyair Indonesia (PPI) 1987 di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Kecenderungan sufistik yang didorong Abdul Hadi melalui esai-esainya di rubrik dialog Berita Buana itu kemudian ambyar ketika muncul kritik bahwa, dengan mengikuti kecenderungan tersebut, mereka hanyalah mengekor Abdul Hadi, yang ketika itu menjadi Ketua Panitia PPI 1987. Sebagian besar penyair Indonesia kemudian “bertualang” ke berbagai tema humanisme universal dan tema-tema sosial-politik dengan berbagai penjelajahan puitik.

Ketika puisi sufistik mendapat angin segar kembali, hampir bersamaan dengan berkembangnya media massa yang mengakomodasi puisi-puisi religius sejak awal 2000-an, bermunculanlah penyair-penyair sufistik baru, seperti Rukmi Wisnu Wardani, Lukman Asya, dan Sofyan Rh Zaid. Penyair-penyair sufistik generasi sebelumnya pun ikut meramaikan kecenderungan ini, sampai ambyarnya media-media massa cetak oleh digitalisasi dan runtuhnya pasar. Tidak ada lagi barometer kepenyairan.

***

JIKA kita melihat garis tematik ke dalam rentang sejarah kesastraan, tasawuf adalah aspek batin (esoterik) wahyu keislaman yang banyak mengilhami penyair-penyair mistik dan dijadikan tema puisi-puisi mereka. Pada saat yang sama, ilham itu berakar kuat pada Al-Quran. Di antara ajaran mistik di dunia, ajaran tasawuf paling banyak melahirkan penyair.

Banyak penyair besar dunia yang dilahirkan oleh tradisi tasawuf, seperti Jalaluddin Rumi, Fariduddin Attat, Muhammad Iqbal, Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, dan Abdul Hadi W.M. Karya-karya mereka banyak mendapatkan sumber ilham dari ajaran kerohanian Islam yang berkembang dalam ajaran tasawuf dan melahirkan tradisi sastra sufistik.

Istilah “sastra sufi” pernah digunakan oleh Ali Audah dalam esainya, Kutub-kutub Sastra Sufi, di majalah sastra Horison edisi Mei 1986. Istilah “sastra sufi” bisa merujuk pada dua pengertian. Pertama, karya sastra yang hidup dan berkembang di kalangan para sufi dan ditulis oleh kaum sufi. Kedua, karya sastra yang memiliki kandungan tema ataupun isi yang bersifat sufistik, terutama ungkapan cinta dan kerinduan untuk bertemu Tuhan sampai ungkapan “kemanunggalan” dengan Tuhan.

Adapun istilah “sastra sufistik” saat ini dapat diberi pengertian yang lebih luas, tanpa mempersoalkan apakah karya sastra itu ditulis oleh seorang sufi atau bukan. Semua karya sastra yang bertema tasawuf, atau berisi tentang tasawuf, dapat disebut “sastra sufistik”. Istilah “sastra sufistik” selanjutnya digunakan untuk menyebut semua karya sastra yang bertema tasawuf, berisi ajaran dan konsep tentang tasawuf, serta pengalaman kerohanian dalam menempuh jalan sufi.

Ragam dan bentuk sastra sufistik cukup banyak. Secara garis besar, bentuknya bisa dikelompokkan menjadi prosa dan puisi. Sedangkan ragamnya meliputi puisi, syair, serta masnawi (matsnawi) yang amat panjang, seperti Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar yang sangat populer. Tapi, dibanding prosa, puisi merupakan bentuk pengucapan yang paling disukai para penyair sufistik dan mendominasi hampir semua kepustakaan sastra sufistik. 

Ciri-ciri umum puisi sufistik berupa lirik-lirik yang didaktik dan romantik. Arberry (1985), dalam penelitiannya terhadap puisi-puisi sufi Persia, juga menyebutkan tiga kategori utama itu—lirik, didaktik, dan romantik. Puisi-puisi sufistik bersifat lirik karena pada umumnya merupakan ungkapan perasaan cinta dan kerinduan kepada Tuhan.

Puisi-puisi lirik itu menjadi romantik. Sebab, dalam mengungkapkan perasaan cinta dan kerinduannya kepada Tuhan, banyak dilukiskan dalam nada-nada yang sendu dan sentimental. Lirik-lirik romantik secara lebih jelas dapat kita temukan pada puisi-puisi Amir Hamzah, misalnya pada kutipan berikut ini: 

Doa
Dengan doa kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samara sepoi, pada masa purnama meningkat naik setelah menghalau panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa, menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihan, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu biar bersinar gelakku raya.

Puisi-puisi sufistik itu juga bersifat didaktik karena di dalamnya banyak mengandung berbagai aspek ajaran tasawuf, baik tentang kebijaksanaan hidup maupun hubungan manusia dengan Tuhan. Bahkan, sebenarnya, puisi-puisi sufistik itu banyak dijadikan sarana untuk menyampaikan ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan tasawuf.

Dilihat dari segi tema, puisi-puisi sufistik memiliki, setidaknya, empat tema pokok, yakni kefanaan dan kekekalan, kematian, cinta ketuhanan, serta kemanunggalan dengan Tuhan. Keempat tema pokok sastra sufistik ini sejalan dengan tingkatan-tingkatan penghayatan kerohanian kaum Sufi terhadap hakikat kehidupan.

Pertama, kesadaran bahwa sesungguhnya hidup di dunia adalah fana. Kedua, kesadaran bahwa semua manusia, bahkan semua kehidupan di alam semesta, akan mati dan musnah, kecuali Tuhan. Ketiga, kesadaran bahwa manusia harus menumbuhkan rasa cinta kepada Tuhan dalam dirinya. Sebab, hanya dengan mencintai Tuhanlah manusia bisa hidup kekal dalam cinta Tuhan. Dan keempat, kesadaran bahwa hanya dengan hidup dalam api cinta di sisi Tuhan manusia bisa mendapat kekekalan.

Maka, lahirlah kerinduan-kerinduan untuk “manunggal” dengan Tuhan, bukan saja di akhirat kelak, tapi juga dalam kehidupan di dunia. Manusia berjuang dengan berbagai praktik peribadatan dan tarikat untuk mencapai tingkat makrifat (kemanunggalan dengan Tuhan). Kemudian muncul berbagai citraan kemanunggalan manusia dengan Tuhan, seperti puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi W.M. berikut ini:

Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
1976

Inti sari tahap-tahap penghayatan kerohanian terhadap hakikat kehidupan itu bisa dirujukkan pada firman Allah: Semua yang ada di bumi itu fana (akan binasa). Dan akan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS 55:26-27). Oleh para sufi, ayat itu dijadikan sebagai “gantungan” doktrin khas mereka tentang kefanaan. Sifat-sifat manusia yang fana, melalui “kemanunggalan” dengan Tuhan, mereka meraih kebakaan kehidupan spiritual di sisi Allah.

Puisi-puisi sufistik itu berpusat pada upaya mengungkapkan kerinduan dan kecintaan kepada Allah serta renungan atas kefanaan dan kekekalan hidup. Lebih jauh lagi, mengenai tahap-tahap yang mesti ditempuh seseorang untuk sampai kepada perkembangan pribadi secara vertikal sehingga mencapai makrifat. Pada puisi karya Jalaluddin Rumi berikut ini dapat dipahami bagaimana sufi sejati di jalan tasawuf:

Sufi Sejati
Apa yang membuat orang jadi sufi? Hati yang bersih
Bukan baju yang kumal dan nafsu yang liar
Mereka yang terikat pada dunia telah memakai namanya
Namun segala ampas dapat ia saring sari murninya
Sufi sejati mudah dalam kesulitan, riang dalam bencana
Hantu-hantu pelindung yang menjaga gapura istana Keindahan
Dan mengurung tempat yang tentram itu dengan pentungan menakutkan
Akan memberi jalan kepadanya, dan tanpa kenal takut ia pun lewat
Seraya memperlihatkan panah sang Raja, masuk ke dalam

Wasilah (jalan) kepada yang dicintai adalah mencintai pula. Dan apa yang dicintai untuk kecintaan yang lain daripadanya adalah yang lain itu pada hakikatnya yang dicintai. Tapi jalan kepada yang dicintai, menurut Ghazali, adalah mencintai juga. Sementara itu, bagi Rumi, cinta (kepada Allah) adalah segala-galanya. Dengan menggunakan imaji dan simbol yang diambil dari pengalaman sehari-hari, Rumi menulis:

Karena cinta pahit berubah menjadi manis,
Karena cinta tembaga berubah menjadi emas
Karena cinta ampas berubah menjadi sari murni
Karena cinta pedih menjadi obat
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan
Karena cinta raja berubah jadi hamba

Dapat dikatakan bahwa tasawuf atau sufisme merupakan wadah yang sesuai dengan mereka yang berjiwa seniman dalam memenuhi kerinduannya untuk menghayati masalah-masalah kerohanian dan ketuhanan. Puisi, sebagai salah satu bentuk ekspresi seni sastra, merupakan media yang sangat disukai oleh para sufi untuk menyatakan perasaan, pikiran, dan sikap hidupnya. 

Sementara itu, kaum sufi yang bukan penyair umumnya sangat suka menyitir puisi-puisi sufi lain atau gubahan gurunya dalam mengemukakan pandangan-pandangannya tentang ketuhanan dan kebijaksanaan hidup. Puisi panjang yang sangat terkenal, Musyawarah Burung (Mantiqut Thair), ditulis oleh Fariduddin Attar, cukup pas menggambarkan kecintaan itu. 

Puisi memiliki peranan yang sentral dan sangat penting sebagai sarana penyampaian ajaran dan berbagai konsep tasawuf. Di samping itu, puisi merupakan sarana zikir yang cukup penting, yakni melalui lirik-lirik alam yang menggambarkan proses penghayatan kaum sufi terhadap hakikat kehidupan, kefanaan, dan kekekalan untuk memahami kebesaran Allah, sebagaimana tergambar pada sebagian besar puisi Abdul Hadi W.M.

•••

KEMBALI pada pertanyaan di atas, siapakah penerus tradisi puisi sufistik dalam khazanah sastra kontemporer Indonesia? Sepertinya, saat ini para penyair kontemporer enggan menyatakan dirinya sebagai penyair sufistik sebagaimana Abdul Hadi, yang sejak 1970-an dengan gigih berjuang memantapkan eksistensinya sebagai penyair sufi. 

Para penyair generasi 2000-an umumnya tidak sungguh-sungguh, tidak dengan sepenuh hati, memilih jalan tasawuf sebagai ekspresi kepenyairannya. Mereka menulis puisi religius dan sufistik dengan “malu-malu kucing”.

Ada beberapa penyebab sikap malu-malu kucing itu terjadi. Pertama, kritik yang muncul setelah PPI 1987, bahwa menulis puisi sufistik adalah “mengekor” Abdul Hadi, masih membekas dalam memori bawah sadar para penyair. Dengan begitu, mereka akhirnya memilih tema-tema lain dan sesekali dengan diam-diam menulis puisi sufistik. Kedua, puisi-puisi religius dan sufistik kurang diapresiasi dalam kritik sastra dan tradisi penghargaan sastra, tidak seperti puisi humanisme universal.

Dan, ketiga, untuk masuk dalam pengertian tasawuf tidak gampang, perlu ketekunan membaca pustaka tasawuf, dan bahkan disiplin akademis tersendiri, seperti dijalani Abdul Hadi. Pengetahuan tentang konsep tasawuf kebanyakan penyair pasca-Abdul Hadi umumnya setengah-setengah, dan akhirnya mereka setengah-setengah pula dalam memasuki “jalan sufistik” dalam berpuisi.

Akibatnya, tradisi puisi sufistik pasca-Abdul Hadi kembali memasuki jalan sunyi. Hanya beberapa sosok penyair yang sesekali melewati jalan itu, sebagai sosok-sosok yang kurang jelas, yang kadang tampak ragu, tampak ketakutan, kemudian minggir, dan menghilang, membiarkan jalan itu kembali sunyi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus