Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada kata terlambat untuk langkah yang baik. Pemerintah bakal segera menebarkan banyak insentif kepada investor pembangkit energi baru terbarukan yang akan diatur dalam peraturan presiden. Aturan ini sudah lama ditunggu karena banyak investor yang ragu-ragu mengucurkan duitnya untuk membangun sumber energi bersih ini. Selain investasinya mahal, tak ada jaminan listriknya akan dibeli Perusahaan Listrik Negara dengan harga yang pantas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memang menjadi kunci untuk mengurai benang ruwet dalam pembangunan pembangkit listrik bersih. PLN jelas tak mau membeli listrik dari pembangkit baru karena bakal tekor: harga beli mahal, harga jual ke konsumen diatur pemerintah. Tanpa harga yang layak, investor juga enggan masuk karena sulit balik modal. Hampir semua negara memberikan insentif dalam berbagai bentuk untuk mendorong pengembangan energi baru terbarukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengembangan energi baru di Indonesia tergolong lambat karena sumber energi fosil yang murah masih melimpah, terutama batu bara. Saat ini, kontribusi batu bara di pembangkitan masih di angka 60-an persen, setara dengan Cina. Di banyak negara, batu bara masih menjadi primadona, menyumbang 40 persen sumber listrik dunia. Sejak 2000, kapasitas pembangkit batu bara naik dua kali lipat menjadi 2.045 gigawatt.
Namun, jika dampaknya terhadap lingkungan dan manusia dihitung, harga batu bara sesungguhnya tak bisa dibilang murah. Karena itu, pemberian insentif untuk energi baru terbarukan bisa menjadi solusi untuk energi bersih, sebagai substitusi energi yang polutif. Dukungan pemerintah dalam berbagai bentuk, yakni skema penentuan tarif yang menarik, insentif fiskal, kemudahan regulasi, dan jaminan pembiayaan, akan bisa mendorong pengembangan energi baru lebih cepat.
Salah satu klausul baru yang sangat menarik adalah pemerintah akan menanggung biaya eksplorasi untuk wilayah kerja baru. Eksplorasi sumber energi panas bumi, misalnya, akan dijalankan perusahaan negara melalui penugasan dan hasilnya dilelang kepada investor. Dengan cara ini, investor terbebas dari risiko eksplorasi biaya tinggi. Skema lain adalah penggantian biaya bagi investor yang mau melakukan eksplorasi, mirip cost recovery di industri minyak dan gas.
Di titik ini, peraturan presiden bisa mendorong peningkatan kapasitas listrik dari energi bersih sampai 19,9 GW, setara dengan 23 persen kapasitas total pada 2025. Saat ini, kontribusi energi bersih masih 10,8 GW. Kucuran anggaran negara untuk menutupi biaya pembangkit listrik energi baru yang lebih mahal daripada energi fosil memang sebuah keniscayaan ketimbang terus bergantung pada energi murah tapi polutif. Tapi pemerintah mesti memasang pagar yang ketat agar regulasi ini tak melenceng.
Jangan sampai niat baik negara untuk memberikan kemudahan dan menanggung biaya eksplorasi dimanfaatkan investor culas. Insentif baru ini memang membuka kemungkinan moral hazard. Investor bisa bermain mata untuk mengeruk anggaran negara, sebagaimana yang dulu terjadi di industri minyak. Misalnya, pada 2016, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penggelembungan cost recovery sampai Rp 4 triliun oleh tujuh kontraktor minyak dan gas.
Mekanisme penentuan tarif juga rawan diakali, terutama dengan adanya mekanisme take or pay—dipakai atau tidak dipakai, PLN tetap harus membeli listrik swasta. Tidak jarang PLN mesti membeli listrik dengan harga lebih mahal dibanding yang lain. Karena itu, harga yang terbentuk nantinya harus benar-benar harga yang fair. Jangan sampai berbagai insentif ini akhirnya gagal menutup kerugian (eksternalitas) yang muncul dari energi kotor.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo