Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BURUKNYA cara pemerintah menangani pandemi Covid-19 berperan besar pada tingginya angka kematian tenaga kesehatan di Indonesia. Kisruh pengadaan alat pelindung diri hanya satu contoh lemahnya manajemen krisis penanganan wabah ini. Pemerintah Joko Widodo sepatutnya segera berbenah agar tak makin banyak jatuh korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya 181 tenaga kesehatan di negara ini—sebagian besar dokter—wafat terpapar Covid-19 hingga awal September 2020. Amnesty International mencatat angka kematian di Indonesia itu menyumbang sekitar 2,5 persen dari total kematian tenaga kesehatan di seluruh dunia dalam kurun yang sama. Padahal total kematian pasien akibat Covid-19 di Indonesia hanya 0,09 persen dari total angka kematian dunia. Ini menggambarkan betapa tenaga kesehatan di Indonesia menghadapi risiko kematian cukup tinggi dibanding koleganya di negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minimnya perlindungan kepada tenaga kesehatan sudah tampak sejak awal pandemi. Kebijakan kesehatan berjalan tanpa orkestrasi. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, yang seharusnya menjadi dirigen, malah seperti bermain musik sendiri—antara lain dengan mengkampanyekan “jamu penangkal corona”. Presiden pun sepertinya lebih mempercayakan urusan krisis kesehatan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.
Buruknya manajemen pengendalian wabah kita tergambar jelas pada kisruh proyek pengadaan alat pelindung diri (APD). Di awal wabah, tenaga kesehatan di seluruh Indonesia harus berjibaku melawan virus corona dengan perlindungan seadanya. Karena kondisi darurat, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan mengambil langkah cepat, yakni memesan 5 juta set alat pelindung dari konsorsium perusahaan yang biasa memasok APD ke Korea Selatan.
Baru separuh jalan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyimpulkan harga yang dibayar pemerintah ternyata kemahalan. Kesimpulan itu memaksa Kementerian Kesehatan menghentikan proyek. Padahal produksi terus berjalan untuk menyelesaikan pekerjaan 5 juta set pelindung sesuai dengan order. Walhasil, sekitar 40 persen dari jumlah pesanan itu teronggok di gudang hingga kini. Pada saat bersamaan, ada perusahaan yang justru mengundurkan diri karena tak bisa memproduksi APD meski sudah memenangi order pemerintah.
Kekacauan proyek pengadaan alat pelindung itu terasa tragis dan ironis. Ketika jutaan APD bertumpuk di gudang, banyak tenaga kesehatan bekerja mengatasi pagebluk corona tanpa perlindungan memadai. Ditambah lagi, insentif yang dijanjikan Presiden Jokowi pada April lalu untuk tenaga kesehatan juga belum sepenuhnya cair.
Tak berlebihan jika muncul kesimpulan: bukan hanya virus, kebijakan buruk pemerintah ikut andil dalam kematian seratus lebih tenaga kesehatan. Kehilangan dokter dan tenaga medis di tengah wabah seperti sekarang sungguh memilukan. Belum lagi kalau kita melihat rasio dokter dibanding jumlah penduduk di Indonesia yang relatif masih rendah, yaitu 36 dokter per 100 ribu penduduk.
Memang, kematian tenaga kesehatan yang tinggi bisa didorong banyak faktor. Selain alat pelindung yang tidak memadai, ada faktor kurangnya istirahat, kondisi kesehatan dokter itu sendiri, dan tak cukupnya kapasitas medis di negeri ini. Namun kebijakan yang tepat dan cergas seharusnya bisa mencegah situasi memburuk. Toh, banyak contoh negara lain bisa menjalankan kebijakan kesehatan dengan baik. Menurut Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, hanya Rusia dan Mesir yang kematian tenaga medisnya lebih buruk daripada Indonesia.
Presiden Jokowi semestinya segera membenahi manajemen krisis ini. Menteri Kesehatan Terawan terbukti gagal mengatasi persoalan. Ketidakmampuannya memahami masalah pandemi menempatkan tenaga kesehatan dalam bahaya. Keselamatan masyarakat pun makin terancam.
Saat ini, ada kesan penyebaran virus corona di Indonesia makin tak terkendali. Semua pihak seolah-olah mulai angkat tangan. Pemerintah menyebarkan rasa aman palsu dengan menebarkan janji bahwa wabah akan segera berakhir jika Indonesia memproduksi vaksin. Kenyataannya, vaksin anti-corona itu masih dalam tahap uji klinis. Peluang keberhasilan dan kegagalannya masih sama besar. Jikapun lolos uji, perlu waktu panjang untuk kemudian mendistribusikan lalu menyuntikkannya kepada ratusan juta penduduk Indonesia.
Wabah ini ibarat maraton, bukan sprint. Agar selamat, Presiden Jokowi tak bisa hanya mengandalkan gebrakan-gebrakan sesaat. Kalau Presiden tak segera merapikan barisannya, kita bakal kian kedodoran di tengah perang panjang melawan virus corona.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo