Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Holding Industri Gula untuk Apa

Pemerintah akan membangun holding industri gula untuk mewujudkan swasembada. Jangan sampai jatuh ke tangan pemburu rente.

3 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA pembentukan holding badan usaha milik negara industri gula menjadi pertanda jika pemerintah mulai kehabisan cara untuk mewujudkan ambisi swasembada komoditas pangan itu. Konsolidasi yang berujung pada penswastaan aset negara menunjukkan tak mangkusnya berbagai strategi pemerintah untuk mendorong kinerja BUMN produsen gula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah upaya revitalisasi mesin dan pabrik gula menemui jalan buntu, pemerintah mengumumkan rencana untuk membentuk SugarCo. Perusahaan ini adalah hasil spin-off anak-anak usaha PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN III yang statusnya kini menjadi holding BUMN perkebunan. Ada lima anak usaha dan dua cucu usaha PTPN III yang akan dilebur dalam SugarCo, yaitu PT PTPN II; PTPN IX; PTPN X; PTPN XI; PTPN XIV; PT Buma Cima Nusantara, yang berstatus anak usaha PTPN VII; dan PT Industri Gula Glenmore, anak usaha PTPN XII.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perusahaan-perusahaan ini mengoperasikan 40 pabrik gula. Setelah konsolidasi selesai, SugarCo—yang juga disebut holding industri gula nasional—akan melepas 35 pabrik kepada investor dengan target perolehan dana Rp 23 triliun. Pemerintah mengklaim sudah memiliki non-disclosure agreement dengan sejumlah calon investor, termasuk yang akan masuk melalui Lembaga Pengelola Investasi. Dengan dana segar dan sentuhan investor yang cakap, pemerintah berharap program revitalisasi industri gula bisa melesat.

Sah-sah saja jika pemerintah dan PTPN hendak menggandeng investor lokal ataupun asing untuk mengembangkan industri gula. Toh, selama ini PTPN tak pernah benar-benar sukses dalam menggenjot produksi, baik tebu di hulu maupun gula dan produk turunannya di sisi hilir. Program revitalisasi pabrik gula yang bergulir sejak era Susilo Bambang Yudhoyono hanya menyedot anggaran tanpa hasil yang memuaskan. Bahkan ada yang berujung korupsi, seperti yang menimpa PTPN XIV pada 2013. Di era Joko Widodo, negara mengucurkan anggaran Rp 3,5 triliun melalui penyertaan modal negara kepada pabrik gula pelat merah. Tapi kenaikan produksinya tak memuaskan.

Jokowi juga pernah menggulirkan program pembangunan pabrik baru oleh swasta. Untuk merangsang investor, pemerintah memberikan insentif berupa pelonggaran impor gula kristal mentah selama beberapa waktu agar pabrik tetap bisa beroperasi saat pasokan tebu tak sesuai dengan rencana. Alih-alih berswasembada, investor ini malah menjadi importir dan tak optimal menyerap tebu petani.

Masalah di sisi hulu pun tak kalah ruwet. Produktivitas lahan tebu milik rakyat ataupun PTPN kian merosot, dari rata-rata 80 ton per hektare menjadi 60 ton per hektare. Pada 2019-2020, produksi tebu terus merosot dari 1,01 juta ton menjadi hanya 240 ribu ton. Dengan kondisi ini, produksi gula lokal tak pernah melampaui 2,5 juta ton atau hanya separuh dari konsumsi.

Untuk memperbaiki kondisi ini, perlu campur tangan investor yang cakap. Masuknya pemodal dengan kapabilitas dan integritas yang baik bisa menjadi awal perbaikan industri gula nasional. Masalahnya, hal ini masih menjadi tanda tanya. Jangan sampai pemodal yang masuk hanya memburu rente, mengincar penguasaan aset negara. Di sini kemampuan pemerintah dan holding PTPN diuji, apakah mereka mampu menarik investor yang baik atau sebaliknya.

Yang juga harus disoroti adalah strategi SugarCo dalam mengembangkan sisi hulu dan hilir industri gula. Seharusnya perusahaan baru ini menginisiasi pembangunan sentra produksi, termasuk perkebunan tebu, ke daerah di luar Jawa yang memiliki cukup lahan. Jika masih mengincar lahan baru di Jawa, risikonya sangat besar. Selain sulit memenuhi skala industri, ada kemungkinan pembukaan lahan kebun menerabas hutan lindung atau area konservasi. Jika sudah begini, mimpi membangun industri gula yang berkelanjutan tak bakal terwujud.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus