Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM hal membungkam kritik mahasiswa, pemerintah Soeharto dan Joko Widodo sama saja. Yang membedakan cuma caranya. Zaman Soeharto represi dilakukan dengan pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Era kini digunakan cara memutar: rektor dikendalikan dengan memberi mereka jabatan basah—komisaris badan usaha milik negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang rektor kemudian seperti kerbau dicocok hidung: mengikuti mau pemerintah. Universitas dengan demikian mudah dikendalikan. Setidaknya rektor menjadi sungkan jika membiarkan mahasiswanya kritis terhadap pemerintah. Lebih jauh, pola penaklukan semacam ini kemudian melahirkan para penjilat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia menahbiskan Presiden Joko Widodo sebagai “The King of Lip Service”—karena banyak pernyataan Presiden yang dianggap berbeda dengan kenyataan—boleh jadi rektorat bergerak sendiri. Bisa saja pemerintah tidak secara langsung menekan rektor untuk memanggil pengurus BEM.
Rektorat tampaknya mengambil inisiatif karena satu hal: sebagai “abdi”, mereka harus menunjukkan loyalitas kepada pemerintah. Ditambah gertak-gertak kecil para buzzer di media sosial, rektorat gemetar. Sang Rektor bisa kehilangan jabatan atau dipotretkan sebagai “kadal gurun”—kelompok konservatif agama yang dicap anti-keberagaman dan anti-pemerintah serta biang kerok segala urusan.
Represi yang sama dipakai pula ketika BEM UI tahun lalu menggelar diskusi #PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua. Rektorat dengan sigap menuding diskusi tersebut tidak layak dan menyalahi aturan universitas. Kampus semestinya menyediakan ruang bagi kebebasan akademik. Adalah kewajiban moral universitas untuk meluruskan kebijakan pemerintah yang menyimpang. Kampus tak selayaknya membungkuk kepada kekuasaan.
Represi gaya baru ini sebenarnya bisa ditangkal jika Rektor UI Ari Kuncoro menjaga marwahnya dengan melepas jabatan komisaris. Diangkat sebagai Rektor UI pada September 2019, dua tahun sebelumnya Ari telah menjadi komisaris BNI, lalu wakil komisaris utama BRI.
Seorang akademikus semestinya menjaga independensi dengan tidak menduduki posisi lain di pemerintahan. Itulah tujuan larangan rangkap jabatan dalam Peraturan Pemerintah tentang Statuta UI: agar rektor tak mudah diintervensi.
Fenomena rektor menjadi centeng kekuasaan juga terjadi di kampus lain. Ketika mahasiswa ramai menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019, misalnya, sedikitnya lima rektor, termasuk Rektor Universitas Gadjah Mada, mengancam akan menskors mahasiswa yang bergabung dalam demonstrasi. Para rektor menghardik setelah mendapat imbauan dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Yang tak kalah memprihatinkan, sikap menghamba kepada kekuasaan itu kini merasuk pada cara berpikir civitas academica. Sebagian dosen, misalnya, menyatakan tugas kampus bukanlah mengkritik pemerintah, tapi memberikan “masukan yang membangun”. Kritik BEM UI dipersoalkan bukan pada esensinya, melainkan pada bagaimana narasi disusun. Padahal, dengan segala ketidaksempurnaannya, apa yang disampaikan mahasiswa itu sahih belaka: bahwa ucapan dan perbuatan Presiden harus sejalan.
Cara berpikir sesat sejumlah dosen ini sebangun dengan pandangan Jokowi terhadap kritik. Kata Jokowi menanggapi kisruh di UI: kritik harus disampaikan sesuai dengan tata krama dan sopan santun. Dia tampaknya lupa pada hakikat protes: sesuatu yang boleh disampaikan dengan cara urakan karena itu adalah cara mudah publik dalam menyampaikan protes.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo