Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESEPAKATAN panel ahli hukum internasional pada akhir Juni lalu yang menyetujui definisi ekosida sebagai kejahatan berat atas lingkungan berpotensi membuat Indonesia justru terkucil dari pergaulan dunia. Ketika negara-negara lain bersiap mengajukan amendemen Statuta Roma untuk memasukkan ekosida sebagai kejahatan berat kelima, Indonesia malah tak kunjung mengesahkan perjanjian internasional yang mendasari pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia sejatinya merupakan satu dari 148 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menghadiri konferensi di Roma, Italia, pada Juli 1998. Kala itu, Statuta Roma mendapat dukungan 120 negara. Tujuh negara menentang. Sebanyak 21 negara, termasuk Indonesia, abstain. Niat Indonesia mengadopsi Statuta Roma sempat muncul lewat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009. Namun, hampir dua dekade berlalu, rencana tak kunjung terealisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih buruk, belakangan sejumlah pihak di Indonesia justru mendorong agar kita tidak lagi menjadi negara yang terikat oleh Statuta Roma. Dalihnya, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pengadilan HAM—yang diklaim telah mengatur subyek hukum yang sama. Potensi masuknya klausul ekosida di Statuta Roma tentu bakal mementahkan klaim tersebut. Pasalnya, ekosida jelas tak ada dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), misalnya, gagal memakai prinsip ekosida ketika mengadvokasi korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Kala itu, Walhi terbentur keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menyatakan kasus lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Padahal kerusakan akibat meledaknya sumur gas yang dibor PT Lapindo Brantas pada Mei 2006 itu sangat besar. Lebih dari 25 ribu penduduk mengungsi, 10 ribu rumah terendam lumpur, serta hampir 200 hektare kebun dan sawah tenggelam. Sebanyak 30 pabrik tutup dan hampir 2.000 buruh menganggur.
Kini ahli hukum internasional mendefinisikan ekosida sebagai “tindakan melanggar hukum yang kemungkinan besar merusak lingkungan dengan skala yang parah, meluas, atau jangka panjang”. Pengertian ini merujuk pada definisi genosida—satu dari empat kejahatan berat yang menjadi yurisdiksi ICC. Tercakup dalam terminologi ekosida di antaranya deforestasi skala besar, tumpahan minyak di laut, dan penambangan laut dalam. Dengan definisi ini, kasus lumpur Lapindo bisa masuk kategori ekosida.
Jalan mengamendemen Statuta Roma masih panjang. Memang hanya perlu satu negara pihak untuk mengusulkannya. Vanuatu, negara pulau di Pasifik yang terancam tenggelam akibat krisis iklim, kemungkinan besar akan mengajukan proposal untuk menjadikan ekosida sebagai kejahatan. Namun, setelah itu, dua pertiga dari 124 negara pihak harus mengadopsinya.
Meski begitu, pemerintah Indonesia tak bisa terus mengulur waktu. Terus menunda mengadopsi Statuta Roma sama saja dengan menyimpan bom waktu. Apalagi daftar kebijakan dan proyek pembangunan yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan juga makin panjang. Demi memberi karpet merah untuk investor, misalnya, Indonesia mengesahkan omnibus law Cipta Kerja, yang mengabaikan kepentingan pelestarian lingkungan. Ada pula proyek sirkuit balap sepeda motor di Mandalika, proyek wisata premium Pulau Komodo, dan proyek tambang emas di Sangihe, yang semuanya berpotensi merusak alam.
Dengan rapor merah di bidang lingkungan, memang sulit berharap pemerintah sekarang mengadopsi prinsip ekosida. Tapi kita perlu memelihara harapan bahwa penyelenggara negara berikutnya akan lebih memperhatikan lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo