Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBAKARAN hutan yang terus berulang beberapa tahun belakangan adalah bukti negara tak berdaya di hadapan korporasi yang diduga memicu api. Tak hanya lemah dalam mengusut dan menjatuhkan sanksi berat, pemerintah terkesan tutup mata ketika perusahaan-perusahaan itu meneruskan metode pembukaan lahan yang berisiko. Tanpa ketegasan pemerintah, potensi terjadinya kebakaran hutan pada puncak musim kemarau tahun ini—sejak Agustus hingga Oktober 2020—sungguh amat besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelusuran majalah ini bersama Mongabay, Betahita, Malaysiakini, dan Auriga Nusantara menunjukkan aktivitas pembukaan lahan korporasi selalu berujung pada berulang dan meluasnya kebakaran di wilayah konsesinya. Ini misalnya terjadi di wilayah konsesi PT Bumi Mekar Hijau yang mendapat izin pemanfaatan hasil hutan kayu seluas 250 ribu hektare di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Pada 2014, terjadi kebakaran seluas 20 ribu hektare di lahan konsesi perusahaan itu. Setahun kemudian, api menghanguskan area lebih luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semula pemerintah memang berusaha mengejar pertanggungjawaban Bumi Mekar dengan menggugat perusahaan ini secara perdata ke meja hijau. Sempat dibebaskan Pengadilan Negeri Palembang pada 2015, setahun kemudian, Bumi Mekar diwajibkan membayar ganti rugi Rp 78 miliar oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan. Meski putusan tersebut perlu diapresiasi, ganti rugi sebesar itu tak sampai satu persen dari tuntutan ganti rugi ekologis dan biaya pemulihan yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebesar Rp 7,9 triliun.
Sayangnya, rencana pemerintah mengajukan permohonan kasasi hingga kini tak jelas juntrungannya. Tahun lalu, ketika kebakaran kembali terjadi di area Bumi Mekar Hijau, tak terdengar lagi upaya gugatan hukum Kementerian Lingkungan Hidup ke alamatnya.
Temuan serupa dilaporkan di wilayah konsesi PT Kalimantan Prima Agro Mandiri di Kalimantan Barat dan PT Kumai Sentosa di Kalimantan Tengah. Ketiga kasus itu adalah contoh penting untuk memahami mengapa kebakaran hutan terus-menerus terjadi di Indonesia. Tanpa penegakan hukum, pengawasan yang memadai, dan upaya memberikan efek jera, perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan bakal terus mengulangi aksinya. Apalagi, buat sebagian perusahaan sawit dan hutan tanaman industri, pembakaran adalah cara paling cepat dan murah untuk membuka lahan.
Sudah saatnya kondisi ini berubah. Kerugian kita dari kebakaran hutan sudah terlalu besar. Bank Dunia memperkirakan total kerugian yang ditanggung Indonesia akibat kebakaran hutan pada 2019 mencapai hampir Rp 73 triliun. Hingga September tahun lalu, sekitar 900 ribu orang mengalami gangguan pernapasan akibat asap dari kebakaran hutan. Kerugian akibat kegiatan sosial dan ekonomi warga yang terganggu jelas tak terhitung. Jerubu yang saban tahun ikut menyeberang ke negara tetangga juga meruntuhkan kepercayaan dunia terhadap kemampuan Indonesia memadamkan kobaran api.
Meskipun area yang terbakar pada 2019—diperkirakan sekitar 1,6 juta hektare—lebih kecil dibanding kebakaran 2015, yang menghanguskan 2,6 juta hektare, pemerintah tak bisa mengklaim penanganan kebakaran hutan sudah membaik. Copernicus Atmosphere Monitoring Service, layanan pemantau cuaca Uni Eropa, mencatat emisi karbon dioksida kebakaran hutan tahun lalu setara dengan 2015. Apalagi, dalam tiga tahun terakhir, luas lahan gambut yang tersulut terus meningkat. Kita tahu kebakaran di lahan gambut lebih sulit dipadamkan.
Saat ini, ada kesan berbagai kementerian tak punya kesamaan pandangan dan komitmen dalam menjaga hutan Indonesia. Ini tampak dari langkah Kementerian Perekonomian menggelar karpet merah untuk korporasi lewat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Draf aturan yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat itu bakal meringankan tanggung jawab korporasi dengan mengubah Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu semula menegaskan tanggung jawab mutlak perusahaan terhadap kerusakan lingkungan di wilayah konsesinya, hingga penegak hukum bahkan tak memerlukan pembuktian unsur kesalahan.
Presiden Joko Widodo seharusnya segera membenahi jajarannya dan membuktikan komitmen pemerintah membereskan kebakaran hutan. Kelestarian alam adalah kepentingan publik yang wajib dipenuhi pemerintah. Jokowi masih punya empat tahun tersisa dalam periode kedua kepemimpinannya untuk membuktikan keberpihakannya pada bumi yang hijau. Jika korporasi pembakar hutan tetap tak bisa diseret ke pengadilan, Jokowi akan dikenang sebagai presiden yang hanya bisa mewariskan kerusakan ekologis.
Ralat:
Paragraf 3 artikel ini telah diubah karena kekeliruan penyebutan putusan ganti rugi. Sebelumnya tertulis Rp 7,8 miliar, menjadi Rp 78 miliar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo