Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIWAYAT indah Sungai Bengawan Solo hanya ada dalam kenangan dan puja-puji lagu legendaris ciptaan Gesang. Kini sungai terpanjang di Pulau Jawa itu tak ubahnya aliran comberan penuh air kotor dan sampah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada musim kemarau seperti sekarang, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surakarta bahkan tak tega mengambil air dari Bengawan Solo. Kebutuhan air bersih untuk 16 ribu pelanggan PDAM di Solo harus dilayani dari sumber lain karena air sungai berwarna cokelat kehitaman dan berbau busuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber pencemaran di Bengawan Solo adalah rahasia umum. Semua orang tahu bagaimana sungai sepanjang 600 kilometer itu menjadi tempat buangan limbah berbagai industri. Setiap tahun, setidaknya ada 204 ton limbah cair dan 32 ribu ton sampah dibuang ke sungai itu. Tak mengherankan jika ada warga mengeluh gatal-gatal sampai mengalami kulit melepuh jika bersentuhan dengan air Bengawan Solo.
Ironisnya, pemerintah belum mau mengambil tindakan tegas. Padahal Direktorat Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah memastikan parameter kekritisan daerah aliran Sungai Bengawan Solo mencapai 541. Itu jauh lebih tinggi dari standar wajar di angka 40-80.
Pemerintah juga tahu bahwa ada 85 industri yang membuang limbah ke Bengawan Solo dan hanya 18 industri di antaranya yang memiliki izin pembuangan limbah cair. Dari perusahaan yang sudah memiliki izin pun, pemerintah sadar, mereka terkadang membuang limbah melebihi baku mutu. Aparat pemerintah punya semua informasi itu, tapi memilih untuk “mendahulukan pembinaan”.
Kelambanan pemerintah mengambil tindakan tegas itu sungguh tidak masuk akal. Dengan dalih menjaga setoran pajak daerah dan penyerapan tenaga kerja, pemerintah menutup mata atas dampak pencemaran terhadap kesehatan jutaan warga yang harus menggunakan air Bengawan Solo. Setidaknya ada tujuh perusahaan daerah air minum di 21 kabupaten/kota yang dilintasi sungai ini, yang mengandalkan Bengawan Solo sebagai sumber air bersih warga mereka.
Regulasi soal ini juga terang-benderang—setidaknya sebelum ada aturan baru dalam omnibus law. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mereka yang mencemari lingkungan bisa diberi sanksi administratif, berupa teguran tertulis, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Jika itu tetap tidak dipatuhi, mereka bisa dipidanakan dengan ancaman penjara maksimal 3 tahun dan denda sampai Rp 3 miliar.
Pada Desember tahun lalu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengumpulkan belasan perwakilan industri di Jawa Tengah untuk membahas isu pencemaran Bengawan Solo ini. Hasilnya, semua perusahaan yang mencemari sungai diberi waktu satu tahun untuk memperbaiki keterbatasan peralatan hingga sumber daya pengolahan limbah. Kebijakan semacam ini sungguh sulit diterima akal sehat. Deretan perusahaan pencemar sungai itu bukannya dikejar untuk dijatuhi sanksi dan diminta memperbaiki kerusakan alam yang mereka timbulkan, tapi justru dimaafkan dan diberi waktu untuk memperbaiki diri.
Paradigma seperti itu bukan hanya monopoli Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Nyaris semua jajaran pemerintah kini tak lagi berpihak kepada kelestarian alam, yang jelas-jelas merupakan kemaslahatan orang banyak. Pemerintah cenderung berpihak kepada kepentingan pengusaha dan pembangunan ekonomi semata. Bahkan, di tataran retorika sekalipun, sekarang sulit menemukan pejabat pemerintah yang berani mengaku pro-lingkungan hidup. Tanpa keberpihakan pemerintah, alam kita tak punya harapan untuk bertahan. Tinggal menunggu waktu sebelum riwayat cemar Bengawan Solo menular ke sungai-sungai lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo