Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNDANG-UNDANG Cipta Kerja adalah kuldesak—jalan buntu tanpa celah, tanpa harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disetujui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Oktober lalu, kini undang-undang itu berada di tangan Presiden untuk disetujui dan diundangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah banyak dibahas betapa buruk dampak undang-undang itu bagi kesejahteraan pekerja, lingkungan hidup, pemberantasan korupsi, bahkan iklim investasi. Telah banyak orang berteriak tentang jeleknya proses legislasi pembentukan undang-undang itu: dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak melibatkan orang ramai, dan diputuskan dalam sebuah rapat yang sekadar memenuhi prosedur demokrasi tapi meninggalkan substansi demokrasi itu sendiri. Setelah draf itu diketuk, DPR diketahui masih menambahkan dan mengurangi sejumlah pasal—sesuatu yang melanggar undang-undang. Pelanggaran makin sempurna saat di luar gedung DPR, para demonstran pemrotes aturan ini justru digebuk dan ditangkapi.
Memang, para legislator dan Presiden Joko Widodo sudah mempersilakan para pemrotes menguji Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Secara legal formal tak ada yang salah dengan saran ini, meski sesungguhnya mereka tengah melempar bola panas ke Mahkamah. Memproduksi undang-undang yang compang-camping, pemerintah dan DPR menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai keranjang sampah belaka.
Apalagi, sepanjang sejarah Mahkamah Konstitusi, majelis hakim tak pernah menerima keberatan pemohon. Sebuah studi yang dilakukan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menemukan, sejak 2003 sampai 2019, tak sekali pun Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pembatalan undang-undang—betapapun proses penyusunan undang-undang terbukti melanggar prosedur. Alasan Mahkamah adalah undang-undang yang dipersoalkan dianggap bermanfaat bagi orang banyak. Dengan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang memperpanjang usia pensiun hakim Mahkamah, kemungkinan dikabulkannya pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja kian tipis. Kita tahu revisi itu bak gula-gula yang pasti mempengaruhi independensi Mahkamah Konstitusi.
Sejumlah ahli tata negara sempat mendesak Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja. Dalihnya bukan tak tersedia: kegentingan yang memaksa dan proses legislasi yang centang-perenang. Tapi desakan itu mustahil dipenuhi—Presiden Jokowi sejak awal menunjukkan isyarat untuk jalan terus. Dengan kata lain, perpu adalah harapan yang sia-sia.
Sejak awal, gagasan omnibus law memang datang dari Presiden Jokowi sendiri. Motifnya terkesan mulia: mempermudah investasi lewat pemotongan perizinan yang panjang dan berbelit. Tapi, dalam prosesnya, penyimpangan terjadi dalam pembahasan aturan ini di Senayan: hak-hak buruh ditelikung, pemeliharaan lingkungan diabaikan, dan korupsi disuburkan.
Sulit untuk tak berwasangka bahwa Presiden mengetahui dan membiarkan berbagai penyimpangan tersebut. Rencana besar omnibus law untuk merebut investasi global dan memicu transformasi ekonomi Indonesia tinggal angan-angan saja. Ada puluhan bahkan ratusan peraturan yang harus dibuat sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Dikejar target, tak ada yang bisa menjamin mutu peraturan pemerintah tersebut. Alih-alih memotong regulasi, aturan malah tambah banyak dan berbelit. Imbauan pemerintah agar publik mengawasi pembentukan peraturan pemerintah harus dianggap basa-basi politik karena penyusunannya berada dalam ranah eksekutif dan tak didesain untuk terbuka terhadap kritik orang banyak.
Keadaan makin tidak karuan setelah kelompok iliberal semacam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Persaudaraan Alumni 212 menunggangi protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja untuk kepentingan politik jangka pendek. Para buruh, mahasiswa, aktivis masyarakat sipil, dan mereka yang peduli terhadap mundurnya kualitas legislasi di balik pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dipaksa masuk ke dikotomi residu Pemilihan Umum 2019: mendukung atau menentang kepemimpinan Jokowi.
Baik Jokowi maupun kubu penentangnya bisa sama-sama diuntungkan oleh dikotomi itu. Penentang Jokowi berharap mendapat banyak simpati dari penolakan Undang-Undang Cipta Kerja. Sementara itu, pendukung Jokowi berharap mereka yang menolak undang-undang tersebut mundur teratur karena takut dipersepsikan berada dalam satu kubu dengan para begundal.
Terpojok di ujung lorong, tak sepatutnya publik berpangku tangan. Pembangkangan harus dilakukan—sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Itu memang bukan langkah yang sempurna. Tapi, seperti pernah dikatakan seorang bijak, “Jika orang jahat membuat undang-undang yang jelek, tugas orang baik adalah mengabaikannya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo