Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lama pemerintah melontarkan gagasan merehabilitasi semua pengguna narkotik di fasilitas medis dan tak lagi menghukum mereka di bui. Namun, seperti banyak gagasan mulia dan akal sehat di negeri ini, lontaran itu tak pernah terealisasi sampai kini. Kian hari penjara kita kian sesak, sementara jumlah pengguna narkotik, psikotropika, dan obat terlarang (narkoba) malah terus bertambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat ada kenaikan jumlah pengguna narkoba dari 3,3 juta menjadi 3,6 juta orang pada 2017-2019. Hampir 70 persen dari mereka diduga adalah pelajar dan mahasiswa. Angka ini terus bertambah setiap tahun, tanpa tanda-tanda menurun. Dengan kata lain: strategi pemerintah dalam memerangi narkotik perlu dievaluasi secara mendasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam banyak kesempatan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly dan pimpinan BNN memang getol menggulirkan rencana revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Aturan itu harus diubah karena tak tegas memisahkan kriminalisasi untuk pengedar narkotik dan rehabilitasi untuk penggunanya. Meski sudah masuk Program Legislasi Nasional 2021, sampai sekarang naskah revisi itu tak kunjung disetor ke Senayan—lokasi gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.
Pangkal masalahnya ada pada dua pasal yang bertentangan di Undang-Undang Narkotika. Pasal 54 menyatakan pencandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba wajib mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial. Sementara itu, pasal 127 menegaskan bahwa korban penyalahgunaan narkoba harus dihukum, sama dengan pengedar dan bandarnya. Selama dua pasal itu tak diselaraskan, strategi pemberantasan narkotik di Indonesia pasti bakal jalan di tempat.
Sayangnya, banyak orang tampaknya masih percaya bahwa solusi utama mengentaskan masalah narkoba ada di penjara. Pemidanaan semua orang yang bersentuhan dengan ganja, sabu-sabu, hingga pil ekstasi dan heroin dianggap sebagai jurus pamungkas. Padahal mengkriminalkan pengguna narkotik tak bakal menyembuhkan mereka. Selama masih ada orang yang membutuhkan narkotik, pengadaan dan peredarannya pun pasti terus merajalela.
Riset di banyak negara memperkuat sinyalemen itu. Studi Human Rights Watch dan The American Civil Liberties Union terhadap pengguna narkotik di Amerika Serikat, yang dirilis pada 2016, memperlihatkan bahwa kriminalisasi justru merusak kehidupan terpidana narkotik. Mereka menjadi korban dampak jangka panjang, seperti keluarga yang berantakan, kesulitan mendapatkan kerja, kehilangan tunjangan sosial, mengalami diskriminasi, hingga menerima stigma seumur hidup.
Liputan khusus majalah ini di empat lembaga pemasyarakatan narkotik menemukan fakta serupa. LP Narkotika Sleman, Yogyakarta; LP Narkotika Tanjungpinang, Kepulauan Riau; LP Narkotika Sungguminasa, Sulawesi Selatan; dan LP Narkotika Pamekasan, Jawa Timur, dipilih karena penjara-penjara ini mengedepankan aspek rehabilitasi dalam menangani penghuninya. Keempat lembaga pemasyarakatan ini tidak memperlakukan narapidana sebagai penjahat, melainkan sebagai pasien yang perlu ditolong agar tak bergantung kepada narkotik.
Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta, misalnya, mengajak napi-napinya banyak membaca, bahkan menulis buku sendiri. LP Tanjungpinang dan Pamekasan membangun pesantren di dalam penjara dan memperlakukan napi seperti santri. Sementara itu, Lembaga Pemasyarakatan Sungguminasa mendorong napi mengenali diri sendiri dengan belajar membaca Al-Quran.
Sayangnya, contoh bagus beberapa lembaga pemasyarakatan ini masih berupa pengecualian. Pola mereka dalam menangani narapidana narkotik juga sulit diterapkan jika penjara makin penuh. Saat ini terdapat 254.284 penghuni lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dan lebih dari separuhnya merupakan tahanan narkotik. Jika semua pengguna narkoba direhabilitasi di pesantren atau pusat rehabilitasi medis yang kompeten di luar penjara, isu tingginya kepadatan lembaga pemasyarakatan kita langsung terpecahkan.
Membalik opini publik yang cenderung setuju dengan kriminalisasi pengguna narkoba pasti tidak mudah. Hal pertama yang harus dirombak adalah asumsi bahwa pengguna dan pencandu adalah orang-orang yang gagal dan tersesat secara moral. Itu asumsi yang keliru. Tidak sedikit dari mereka yang memakai narkotik untuk mengatasi stres, depresi, dan tekanan mental lain. Selama dikonsultasikan dengan otoritas medis, penggunaan narkoba dalam dosis tertentu justru membuat mereka bisa aktif dan produktif di tengah masyarakat.
Sudah saatnya pemerintah dan DPR serius mendorong kebijakan rehabilitasi pengguna narkoba. Jika revisi Undang-Undang Narkotika kembali tak bisa disahkan tahun ini, harga yang harus kita bayar untuk kekeliruan strategi pemberantasan narkoba bakal kian tak tertanggungkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo