Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBUKTI melakukan plagiarisme, Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rokhman harus segera dipecat. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim tak boleh gamang. Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono jangan sungkan mencabut gelar doktor Fathur. Dari UGM-lah Fathur mendapat gelar doktor lewat disertasi yang terbukti hasil sontekan. Sikap lembek Nadiem dan Panut mencederai nama baik dunia pendidikan, yang seharusnya tak menoleransi plagiarisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini bermula pada 2018 saat muncul laporan kepada tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (kini sudah dibubarkan) serta Ombudsman Republik Indonesia. Hasil investigasi EKA menyebutkan disertasi Fathur Rokhman berjudul “Pemakaian Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas” hasil jiplakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senat Universitas Negeri Semarang lalu membentuk tim investigasi internal yang hasilnya menyatakan tak terbukti ada plagiarisme. UGM turun tangan. Hasil investigasi Dewan Kehormatan UGM menemukan karya ilmiah Fathur itu hasil jiplakan. Dalam rekomendasinya pada Maret 2020, Dewan meminta Rektor mencabut gelar doktor Pak Rektor.
Bukannya mengikuti rekomendasi, Panut malah membentuk tim pakar hukum untuk mengkaji ulang temuan itu. Tim membuat kesimpulan yang berseberangan. Pada April 2020, Rektor UGM menyatakan karya Fathur bukan jiplakan dan dinyatakan dia tidak bersalah. Keputusan Panut itu dipersoalkan, termasuk oleh Senat Akademik UGM. Mahasiswa Universitas Negeri Semarang mendemo UGM dan berunjuk rasa di Ombudsman. Mereka menyatakan malu dijadikan olok-olok karena bersekolah di kampus yang dipimpin rektor tak berintegritas.
Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan kemudian turun. Lewat sejumlah penyelidikan, mereka mengambil keputusan yang hasilnya sama dengan Dewan Kehormatan UGM: Fathur bersalah.
Sebagai pemberi gelar, UGM punya tanggung jawab menjaga integritas kampusnya dengan mengoreksi keputusan salah yang telah dibuat—termasuk mencabut gelar doktor yang diperoleh dengan lancung. Hal ini harus dilakukan tidak hanya untuk menjaga nama baik UGM, tapi juga marwah lembaga pendidikan tinggi.
Kementerian Pendidikan tak boleh lepas tanggung jawab. Sementara mencabut gelar doktor adalah urusan UGM, soal posisi rektor merupakan kewenangan Mas Menteri. Dengan hasil yang benderang, tak ada alasan bagi Nadiem Makarim untuk “ragu-ragu Icuk”—dalam istilah warga media sosial—mencopot Fathur dari jabatan rektor. Keputusan itu tak perlu diambil dengan menunggu UGM mencopot gelar doktor Fathur.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir telah memberi preseden. Pada 2017, ia memecat Profesor Djaali sebagai Rektor Universitas Negeri Jakarta. Selain karena dugaan nepotisme, Djaali dituding melindungi praktik plagiarisme. Tak bertindak tegas seperti pendahulunya, Nadiem akan mudah dituduh pengecut. Langkah tegas Nadiem soal ini bukan cuma untuk menghargai kerja tim di kementeriannya, tapi juga menjaga nama baik dunia perguruan tinggi—lembaga yang digembar-gemborkannya dengan semboyan kampus merdeka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo