Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tak memaksakan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tahun ini. Dalam situasi ekonomi yang masih tak menentu seperti sekarang, pemerintah harus realistis: ini bukan saat yang tepat untuk memburu pajak. Jika dipaksakan, bukannya siuman, perekonomian kita bisa-bisa malah nyungsep.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana perubahan kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pekan lalu memang telah sampai di meja Dewan Perwakilan Rakyat. Masuk Program Legislasi Nasional 2020, rancangan undang-undang ini tinggal dibahas pemerintah dan DPR. Dalam rancangan ini, pemerintah berniat menerapkan pajak pertambahan nilai multitarif hingga menaikkan tarif pajak penghasilan orang pribadi. Semua demi mengerek penerimaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, meski tak secara eksplisit dicantumkan dalam rancangan, “pengampunan pajak” untuk mereka yang tak sempat ikut program tax amnesty lima tahun lalu dijanjikan bakal ada oleh pemerintah. Rencana ini dilontarkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, seolah-olah meneruskan aspirasi kalangan pengusaha yang memang getol menyuarakan isu ini sejak dulu. Ada kabar Kementerian Keuangan tak begitu sreg dengan rencana itu.
Tak bulatnya suara pemerintah soal program dan tata cara pengampunan pajak jilid kedua makin menguatkan alasan untuk menunda pembahasan. Jangan sampai rancangan undang-undang yang diniatkan untuk menambah rasio pajak Indonesia malah disusupi kepentingan segelintir pengusaha.
Harus diakui, rasio pajak kita saat ini memang rendah. Pada 2020, angkanya hanya 8,3 persen dari produk domestik bruto. Ini jelas mengkhawatirkan karena negara yang ekonominya kuat umumnya punya rasio pajak yang tinggi. Namun jebloknya rasio pajak tahun lalu juga dipicu oleh faktor menurunnya kinerja perekonomian kita. Sepanjang tiga triwulan terakhir, pertumbuhan ekonomi masih negatif—meski menunjukkan tren naik. Anjloknya pendapatan wajib pajak tentu membuat penerimaan pemerintah turun drastis. Tahun ini kondisinya diperkirakan belum bakal pulih sepenuhnya.
Dalam kondisi penerimaan seret semacam itu, pemerintah semestinya berhemat dengan mengalokasikan anggaran hanya untuk sektor prioritas. Tunda dulu, misalnya, rencana Kementerian Pertahanan membeli alat utama sistem persenjataan. Juga rencana pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur. Presiden Joko Widodo harus berdiri paling depan untuk mengetatkan disiplin anggaran. Dia tak boleh terbuai dengan angan-angan menggenjot pertumbuhan tinggi dengan belanja besar-besaran. Jika duit negara jorjoran dibelanjakan untuk membeli barang impor—seperti senjata, kapal selam, dan pesawat tempur—angka pertumbuhan ekonomi malah kena korting.
Ke depan, reformasi perpajakan tentu tetap merupakan agenda penting. Namun, sebelumnya, pemerintah harus bisa membangun sistem pajak yang dipercaya para pebisnis dan warga negara lain. Kasus korupsi pajak seperti yang dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi belum lama ini tak boleh terjadi lagi. Para pejabat pajak seperti Angin Prayitno Aji, yang kini menjadi tersangka KPK, harus segera diberhentikan.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Presiden Jokowi punya opsi lain. Pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih ramah bisnis, dengan terus memangkas perizinan serta memberantas suap dan praktik korupsi lain. Ketimbang berkeras menarik pajak, pemerintah seharusnya mendorong duit terus berputar di pasar. Dengan cara ini, pengusaha diharapkan bisa bernapas agak lega dan bergerak cepat memulihkan roda perekonomian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo