Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONTROVERSI setelah penayangan film sejarah lumrah terjadi, begitu juga pada film De Oost karya sutradara Jim Taihuttu. Film ini mengangkat sepak terjang tentara kerajaan Hindia Belanda—Koninklijke Nederlands-Indische Leger alias KNIL—di bawah pimpinan Raymond Westerling di Sulawesi Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perspektif Belanda, pembantaian pada 1946-1947 itu merupakan “aksi polisional” untuk “menumpas pemberontak dan teroris”. Bagi negara lain, terutama Indonesia yang masih muda, pembunuhan massal itu jelas merupakan kejahatan. Dua pandangan bertolak belakang itu pun mencuat setelah film tentang Westerling diputar di kanal televisi daring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah organisasi Belanda, termasuk federasi veteran Hindia Belanda (FIN), memprotes film itu. Mereka menganggap De Oost sebagai propaganda anti-Belanda. FIN menilai film itu mencemarkan nama tentara KNIL yang dulu membela Negeri Kincir Angin.
Film sejarah adalah sebuah tafsir atas masa lalu. Perbedaan dalam melihatnya sangat mungkin muncul. FIN berhak untuk menggugat film itu ke pengadilan, meskipun pengadilan sudah semestinya menolak gugatan mereka. Pembuat film dianggap tidak bersalah.
Film ini berusaha berimbang dengan menunjukkan kekejaman KNIL tapi juga menggambarkan bagaimana kaum Republiken pun bertindak keji dengan membunuh dan menculik warga Belanda. Perspektif semacam ini perlu menjadi pertimbangan para sineas Indonesia saat membuat film sejarah, terutama dengan isu sensitif, seperti peristiwa 1965, Timor Timur, dan Papua.
Sayangnya, film sejarah di Indonesia sering kali menjadi korban pandangan politik sempit penguasa, yang hanya ingin mempertahankan satu versi sejarah dan menolak alternatifnya. Film-film tentang peristiwa 1965 yang beredar, misalnya, hanya menggambarkan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah pengkhianat. Walhasil, partai dan pengikutnya layak diberangus. Film seperti Pengkhianatan G30S/PKI dan Penumpasan Sisa-sisa PKI Blitar Selatan (Operasi Trisula) adalah propaganda yang merayakan pandangan rezim Orde Baru. Penguasa menutup mata terhadap tindakan kejam tentara dan masyarakat terhadap kelompok lain yang dicap sebagai komunis dan simpatisannya.
Pemerintah juga berusaha mempertahankan versi sejarahnya dengan menolak atau menyensor film yang berani memberikan pandangan lain. Film Balibo, tentang tewasnya wartawan Australia oleh Tentara Nasional Indonesia di Timor Timur pada 1975, dilarang diputar di Jakarta International Film Festival pada 2009. Film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer, yang menggambarkan algojo pembantaian kaum komunis pada 1965, memang tak pernah secara resmi dilarang, tapi setiap pemutarannya selalu disertai ancaman dan penggerebekan oleh aparat keamanan.
Sikap pemerintah seperti itu hanya membuat pemahaman masyarakat menjadi terbatas. Yang terjadi kemudian adalah lahirnya pandangan yang melihat kebenaran sejarah secara hitam-putih: versi pemerintah selalu benar dan yang lain salah. Sikap inilah yang dapat digunakan oleh satu kelompok masyarakat untuk mempersekusi kelompok lain yang berusaha menawarkan perspektif berbeda.
Kontroversi tentang Westerling belum tuntas di Belanda. Tak mengapa, masyarakat perlu diberi keleluasaan untuk mengakses beragam versi sejarah. Hal itu justru akan memperkaya pemahaman mereka dan membuka ruang bagi perdebatan yang sehat tentang periode kelam dalam sejarah negerinya. Pemerintah Indonesia pun harus meninggalkan cara kunonya dalam membatasi akses publik terhadap versi lain dari sejarah. Hanya dengan begitu pelan-pelan masyarakat dapat berdamai dengan sejarah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo