Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIKLUS harga daging ayam yang naik-turun bak roller coaster menunjukkan ada yang tak beres dalam industri unggas. Apalagi kondisi seperti ini sudah berjalan puluhan tahun. Penyebabnya sesungguhnya sudah bisa ditebak: industri ini sudah lama dikuasai hanya segelintir perusahaan. Merekalah yang mengontrol pasokan dan harga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah harus menghentikan praktik ini agar masyarakat dan peternak tak merana: ketika harga membubung, konsumen menderita; sedangkan saat harga terjun bebas, peternak yang merugi. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan penguasa industri ini tetap meraup untung ketika harga naik ataupun saat nyungsep.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah ini terjadi karena pemerintah membiarkan perusahaan berkiprah dari sektor hulu hingga hilir. Mereka mengimpor bibit, lalu menyuplainya kepada peternak plasma, beserta vaksin dan pakannya. Mereka kemudian menyerap ayam dari peternak dan menjual dagingnya ke pasar. Sekilas bisnis terintegrasi ini baik-baik saja, tapi sebenarnya menyembunyikan ketimpangan yang parah.
Mari kita urutkan dari hulu. Perusahaan mengimpor anak ayam umur sehari atau day old chicken (DOC) untuk kategori grand parent stock (GPS) alias bibit ayam broiler. Mereka mendatangkan bibit ayam dari luar negeri berdasarkan kuota impor yang diberikan Kementerian Pertanian. Tahun ini, total kuotanya 650 ribu ekor. PT Charoen Pokphand Indonesia dan PT Japfa Comfeed Indonesia menguasai sekitar 70 persen pasar unggas.
Dengan kebutuhan daging ayam nasional sekitar 3,2 juta ton per tahun, potensi bisnis ini sungguh gurih. Sampai di sini seolah-olah peternak tak perlu khawatir ayamnya tak laku karena hampir pasti dibeli perusahaan dengan harga yang ditentukan sejak awal. Tapi sesungguhnya mereka berada di posisi yang lemah.
Jika harga daging ayam di pasar naik, keuntungan peternak tak otomatis melonjak karena biaya pakan bisa jadi juga naik. Sebaliknya, jika harga terbanting, sudah pasti mereka menjerit karena harus memikul selisih biaya produksi dan harga jual. Sementara itu, perusahaan tetap untung triliunan rupiah karena telah mengambil margin dari penjualan bibit, pakan, dan vaksin kepada peternak. Sebagai contoh, laba bersih Japfa pada 2014 masih Rp 340 miliar, sedangkan tahun lalu sudah mencapai Rp 1,9 triliun.
Struktur pasar yang oligopolistik di hulu dan oligopsonistik di hilir diperparah oleh praktik kartel seperti yang diputuskan Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada 2016. Karena harga ayam ketika itu turun, sebanyak 12 pelaku bersepakat mengafkirkan ayam parent stock (PS). Akibatnya, harga DOC final stock (FS) melambung. Agar usaha peternakannya berjalan, mau tak mau peternak harus membeli DOC FS dengan harga yang sudah dikerek.
Namun kasus itu dan kejadian berikutnya, ketika harga daging ayam jatuh seperti pada awal pandemi Covid-19 dan terbang tinggi pada Juni lalu, tak juga menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk merombak industri ini. Pemerintah bisa menggunakan instrumen Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang jelas-jelas melarang satu atau sekelompok perusahaan bersepakat menguasai hulu hingga hilir.
Pemerintah juga perlu mendesak perusahaan mengembangkan DOC GPS di dalam negeri sehingga tidak perlu impor. Patut kita pertanyakan mengapa sistem kuota impor ini dilanggengkan. Becermin pada perkara kuota impor sejumlah komoditas, bisa jadi ada orang-orang yang mereguk rente dari praktik ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo