Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK orang percaya, salah satu tugas pemimpin adalah terus menyalakan harapan. Namun, dalam hal perburuan vaksin Covid-19, pemimpin semestinya meniupkan asa itu berbasiskan data saintifik. Meski terbuka kemungkinan sukses uji klinis tahap ketiga calon vaksin Sinovac yang sedang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, terbuka pula probabilitas sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo sebaiknya tidak buru-buru menjanjikan produksi massal vaksin tersebut. Tanpa informasi yang lengkap, janji itu akan memberikan rasa aman palsu kepada publik. Berbagai pembatasan sosial yang selama ini tidak pernah efektif bisa jadi akan makin berantakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkunjung ke Bio Farma, badan usaha milik negara yang berpengalaman memproduksi vaksin di Bandung, Jokowi menyatakan 250 juta bahan antigenik itu siap diproduksi pada akhir tahun ini. Padahal uji klinis itu baru saja dimulai, yang akan melibatkan total 1.620 relawan. Perlu waktu paling cepat enam bulan untuk memastikan keberhasilan uji klinis—ditandai antara lain munculnya imunitas pada 50 persen orang yang mengikuti tes.
Angka 250 juta vaksin yang disebut Jokowi “siap diproduksi” memang terdengar gagah. Jumlah itu merupakan kebutuhan vaksin jika kelak dinyatakan lolos uji klinis. Perlu diketahui, calon vaksin buatan perusahaan Cina yang sedang diuji adalah hasil virus yang telah dimatikan. Agar efektif, kelak setiap orang perlu memperoleh dua kali vaksin jenis ini. Jikapun berhasil, perlu waktu lagi untuk memproduksi, mendistribusikan, lalu menyuntikkannya kepada setiap orang.
Badan Kesehatan Dunia, WHO, juga sudah mewanti-wanti agar setiap negara tak terjebak dalam nasionalisme vaksin semacam itu. Jika semua negara hanya memikirkan kepentingan masing-masing, lalu memproduksi vaksin semata-mata untuk penduduknya, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom meyakini bahaya pandemi global tak akan cepat berlalu. Simpul-simpul penularan Covid-19 tak akan hilang jika hanya negara-negara berpendapatan besar yang bisa menikmati vaksin kelak.
Semua warga dunia tanpa kecuali menjadi korban pagebluk ini. Solusinya tak bisa sendiri-sendiri. Wabah global mustahil dikalahkan jika semua negara tak berkolaborasi. Pergerakan manusia lintas negara membuat wabah bisa tetap cepat menyebar meskipun suatu negara telah berhasil menemukan vaksinnya.
Presiden dan bawahannya semestinya memberikan informasi lengkap tentang perkembangan berburu vaksin ini. Sikap menggampangkan persoalan, seperti yang terlihat sejak awal pandemi pada Februari lalu, tak boleh terulang. Sebelum vaksin betul-betul aman digunakan, pemerintah lebih baik berfokus mengatasi wabah yang makin memprihatinkan.
Situasi saat ini sungguh mencemaskan. Ketika penularan dan kasus positif masih tinggi, “rasa aman” justru makin tumbuh di masyarakat. Bisa jadi kewaspadaan publik mengendur seiring dengan kampanye gencar “adaptasi kebiasaan baru” yang digaungkan pemerintah demi menggerakkan ekonomi. Hal itu terkonfirmasi pada konsentrasi kasus aktif yang tersebar di kota-kota dengan frekuensi kegiatan ekonomi cukup tinggi, semacam Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, serta Bandung Raya.
Penemuan vaksin—juga obat—Covid-19 bisa jadi akan mempercepat usaha pemerintah mengendalikan wabah. Sebelum hal itu terwujud, pemerintah tetap harus berusaha sekuat tenaga melindungi warga negaranya. Termasuk dengan menyediakan informasi faktual, bukan informasi yang sekadar menyenangkan dan menyalakan harapan warganya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo