Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANUVER sejumlah partai untuk mengusung pasangan calon tunggal dalam pemilihan di sejumlah daerah telah merusak demokrasi. Dengan memaksakan satu calon, koalisi partai merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin terbaik mereka. Kompetisi yang sehat dalam pemilihan pemimpin politik lokal pun jadi raib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasangan calon tunggal kemungkinan besar akan melawan kotak kosong di 31 wilayah—dari 270 daerah yang menggelar pemilihan pada 9 Desember 2020. Di antaranya anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dalam pemilihan Wali Kota Solo, Jawa Tengah. Ada juga anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan, dalam pemilihan Bupati Kediri, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah calon tunggal tahun ini meningkat dua kali lipat dari pemilihan kepala daerah 2018. Lonjakan itu tak terjadi secara alamiah. Calon tunggal mencuat bukan karena mereka merupakan kandidat terbaik—sehingga tak ada lawan yang pantas menantangnya. Sebaliknya, calon tunggal merebak karena koalisi partai menutup peluang munculnya calon alternatif.
Cara partai membangun koalisi menunjukkan kuatnya gejala kartel politik. Partai sangat pragmatis bahkan permisif dalam membentuk koalisi. Perbedaan ideologi, visi, misi, dan program kandidat tak penting lagi. Yang partai kejar hanyalah kekuasaan dan kemenangan. Ketika tak bisa menang sendirian, partai kartel berbagi kekuasaan dengan sesamanya.
Tak mengherankan, partai-partai yang berseteru dalam pemilihan presiden kemudian bersatu dalam pemilihan bupati atau wali kota. Di Solo, misalnya, semua partai kecuali Partai Keadilan Sejahtera kompak mencalonkan Gibran. Begitu pula di Kediri: partai-partai pemilik kursi terbanyak sepakat mengusung Hanindhito.
Dalam mencalonkan orang, partai kartel bahkan tak mempedulikan aspirasi kader dan anggotanya. Pengurus partai bisa mencalonkan siapa saja yang berani membayar “mahar”, punya koneksi politik di level pusat, dan mau berbagi proyek setelah terpilih. Ikatan politik dengan pemilih yang dibangun kandidat internal bisa tak digubris. Jalur rekrutmen dan kaderisasi politik dirusak secara terang-terangan. Pengurus partai telah membajak pemilihan kepala daerah untuk keuntungan ekonomi dan politik mereka.
Mudarat calon tunggal tak berhenti dengan selesainya pemilihan. Partai kartel umumnya tak membiarkan kepala daerah terpilih leluasa bekerja. Bupati dan wali kota yang tak mengakar, demi mempertahankan kekuasaan, lebih mendengarkan aspirasi partai ketimbang melayani rakyat. Itulah yang terjadi dalam pelbagai kasus korupsi berjemaah yang melibatkan kepala daerah dan politikus lintas partai. Walhasil, selain mengebiri demokrasi, kartel politik pun menyuburkan korupsi.
Masyarakat sipil harus merapatkan barisan untuk menghukum partai-partai kartel ini. Selain mendorong calon dari jalur independen, perlu kampanye bersama untuk memilih kotak kosong dalam pemilihan yang hanya menyajikan satu kandidat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo