Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN lebih menyidik skandal PT Asuransi Jiwasraya, Kejaksaan Agung belum banyak menyentuh aktor-aktor di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penyidik baru menahan mantan Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal, Fakhri Hilmi. Padahal perkara yang merugikan negara hingga Rp 12,1 triliun ini diduga bermula dari lembaga pengawas industri keuangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik sebenarnya sudah mengantongi banyak petunjuk. Misalnya kesaksian penting Direktur Pengelolaan Investasi Departemen Pengawasan Pasar Modal OJK Sujanto. Dalam tiga kali pemeriksaan pada Juli-Oktober tahun lalu, ia secara konsisten menyebutkan lembaganya sudah mengendus pelanggaran awal pengelolaan dana investasi Jiwasraya sejak 2016. Artinya, pengelolaan ilegal uang masyarakat itu sebenarnya bisa dicegah sejak dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pejabat OJK seharusnya bersikap tegas saat menemukan kejanggalan transaksi keuangan yang bisa merugikan negara dan orang banyak. Sejak 2016, Sujanto mengaku melaporkan temuan pelanggaran 13 perusahaan manajemen investasi yang mengelola triliunan rupiah dana Jiwasraya kepada atasan. Apalagi audit Badan Pemeriksa Keuangan telah membeberkan sederet kejanggalan pada pengelolaan investasi Jiwasraya tahun buku 2014-2015.
OJK sayangnya bersikap lembek. Alih-alih menghukum 13 perusahaan, lembaga yang berdiri pada 2012 ini hanya menjatuhkan sanksi pembinaan kepada para manajer investasi. Patut diduga sikap ini diambil karena lobi mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia kepada para petinggi di OJK. Sujanto juga mengaku didatangi sang mantan pejabat. Sampai sekarang, sosok yang disebut berada di belakang para terdakwa kasus Jiwasraya ini masih melenggang bebas meski namanya kerap disebut di pemeriksaan dan pengadilan.
Kegagalan mencegah penyelewengan dana investasi Jiwasraya menunjukkan kelemahan besar OJK sebagai pengawas industri keuangan. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, OJK seharusnya menjadi pelindung bagi masyarakat dengan kewenangannya mengawasi dan mengatur lembaga keuangan. Itu sebabnya, dalam perkara korupsi Jiwasraya, OJK menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena keteledorannya membuat banyak nasabah dirugikan.
Kegagalan pengawasan ini diduga berulang dalam skandal PT Asabri, yang merugikan negara hingga Rp 23,7 triliun. Orang-orang di balik megakorupsi ini sama dengan pelaku korupsi dana investasi Jiwasraya. Periode pelanggaran kedua kasus ini juga berjalan beriringan. Meski peran OJK belum terang-benderang dalam perkara ini, modus yang digunakan mirip dengan yang terjadi di Jiwasraya: menanam triliunan rupiah uang nasabah ke “saham jadi-jadian”.
Dengan segudang bukti ini, Kejaksaan Agung semestinya mengungkap peran para petinggi OJK lain yang ikut bersekongkol bersama Fakhri Hilmi. OJK memiliki sistem deteksi e-Monitoring yang bisa diakses banyak pegawai. Pengungkapan itu juga diharapkan bisa menjadi modal pemerintah mengevaluasi kewenangan lembaga super pengawasan keuangan ini. Menghukum para pihak bersalah akan mengembalikan kepercayaan publik dan menyehatkan kembali iklim investasi di Tanah Air.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo