Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Sri Danardana*
BELAKANGAN ini, di tengah pandemi virus corona, kita kembali disuguhi istilah (asing): herd immunity. Istilah itu secara nyata pula kembali membuat banyak orang hiruk-pikuk mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Lalu muncullah tawaran padanan-padanan baru, seperti kekebalan kawanan, kekebalan komunitas, imunitas masyarakat, dan kekebalan masyarakat. Padahal sudah ada padanan yang ditawarkan pemerintah (dalam hal ini Badan Bahasa) dan sudah digunakan secara umum, yakni kekebalan kelompok. Wikipedia pun menggunakan istilah kekebalan kelompok, di samping kekebalan kawanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilihat dari segi bentuk, herd immunity merupakan hasil penggabungan kata herd dan immunity, yang secara harfiah (hanya) dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi kekebalan kawanan atau kekebalan kelompok. Jika immunity tidak diterjemahkan, tapi diserap (menjadi imunitas), akan terbentuk imunitas kawanan atau imunitas kelompok. Pertanyaannya, mengapa ada yang memadankan herd immunity dengan kekebalan komunitas, imunitas masyarakat, dan kekebalan masyarakat? Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan dicari melalui tulisan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2015: 722), komunitas dimaknai “kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan berinteraksi di daerah tertentu; masyarakat; paguyuban”. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2007: 332) pun komunitas disinonimkan dengan kekerabatan, komune, masyarakat, peguyuban, populasi, puak, dan publik. Dengan demikian, pemadanan herd immunity dengan kekebalan komunitas, imunitas masyarakat, atau kekebalan masyarakat tidak bertelingkah dengan aturan dan perlu dipertimbangkan. Mengapa? Karena, selain kata kawanan dan kelompok berkonotasi negatif, kata komunitas dan masyarakat dapat menjadi pengingat bahwa di Indonesia telah dan sedang terjadi gegar budaya.
Konon, kecenderungan masyarakat Indonesia untuk tampil dalam ketidakberbedaan ditengarai telah melahirkan masyarakat yang antistruktur: masyarakat sebagai komunitas, bukan masyarakat sebagai societas. Menurut Victor W. Turner (1969: 94), ritus-ritus peralihan (transisi) seperti itu mempunyai pola tertentu dan dapat dibedakan dalam tiga tahap: pemisahan, peralihan, dan penyatuan. Pada tahap pemisahan, subyek ritual yang mengalami transisi dilepas dari peran-peran sebelumnya. Pada tahap peralihan, subyek ritual berada dalam keadaan ambigu karena tidak “di sini” dan tidak pula “di sana” (betwixt and between). Sementara itu, pada tahap penyatuan, subyek ritual kembali berada dalam keadaan yang relatif stabil dan mulai memasuki dunia baru yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Berdasarkan model analisis Turner itu, sekarang ini bangsa Indonesia berada pada tahap peralihan dalam keadaan ambigu: tidak “di sini” dan tidak pula “di sana” (betwixt and between). Dialektika seperti itulah yang membentuk perjalanan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia akhir-akhir ini: bergerak mondar-mandir, dari struktur ke komunitas dan dari komunitas ke struktur.
Nah, di sinilah sebenarnya pemerintah berkesempatan hadir, ikut menentukan arah perubahan rakyatnya: menuju ke masyarakat yang antistruktur (community) atau ke masyarakat yang berstruktur (societas). Dengan demikian, jika menghendaki rakyatnya menuju masyarakat yang antistruktur, idealnya pemerintah memilih kekebalan komunitas. Begitu pula, jika menghendaki rakyatnya menuju ke masyarakat yang berstruktur, idealnya pemerintah memilih kekebalan masyarakat.
Lalu, apa salahnya pemerintah memilih kekebalan kelompok? Tidak salah. Pilihan itu pasti sudah dipikirkan masak-masak, bahkan mungkin sudah disesuaikan dengan cara pelaksanaan vaksinasi yang telah dilakukan. Bukankah vaksinasi Covid-19 dilakukan secara berjenjang dan per kelompok?
“Pertama, memang (vaksin Covid-19) diprioritaskan untuk tenaga kesehatan. Kemudian berikutnya TNI, Polri, dan petugas pelayanan publik serta masyarakat. Nah, ini (masyarakat) nanti berbarengan pada pertengahan Februari 2021,” kata Presiden Joko Widodo setelah menerima vaksin Covid-19 dosis kedua di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu pagi, 27 Januari 2021 (Liputan6.com).
*) PENELITI AHLI MADYA PADA BADAN BAHASA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo