Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN pemerintah tentang pakaian seragam serta atribut siswa sekolah dasar dan menengah negeri perlu didukung. Surat keputusan bersama yang diteken Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini menegaskan sikap pemerintah untuk tidak mencampuri urusan agama siswa. Semua siswa bebas memilih untuk memakai atribut khas agamanya atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, reaksi Majelis Ulama Indonesia yang meminta pemerintah memberikan kelonggaran bagi pemerintah daerah untuk mengatur seragam sekolah sesuai dengan agama siswa adalah langkah mundur. Pandangan semacam ini harus ditolak tegas. Sebagai lembaga pendidikan publik, sekolah negeri tak boleh mencerminkan satu agama tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhawatiran MUI yang menuding keputusan pemerintah bisa menghilangkan kearifan lokal juga menandakan sesat pikir. Seragam berbasis agama justru mendorong penyeragaman budaya. Model semacam itu malah menghilangkan keberagaman yang menjadi ciri khas kebudayaan Indonesia.
Patut disadari, kebijakan sekolah mengharuskan siswa mengenakan seragam berbasis agama adalah bentuk intervensi politik terhadap tubuh siswa, khususnya perempuan. Apa pun bentuknya, pemaksaan semacam itu harus ditolak. Juga ketika pemaksaan itu dilakukan untuk melarang ekspresi keagamaan, seperti ketika Orde Baru melarang penggunaan jilbab di sekolah.
Sayangnya, sejak reformasi 1998 dan ruang ekspresi keagamaan terbuka lebar, pendulum politik malah mengayun ke ekstrem yang lain. Sekolah dan pemerintah daerah beramai-ramai mewajibkan siswa mengenakan pakaian khas agama tertentu sekaligus melarang penggunaan simbol-simbol agama minoritas di daerahnya. Guru-guru agama yang memberikan nilai tinggi hanya karena siswanya mengenakan atribut keagamaan, misalnya, malah mengukuhkan pelanggaran atas kebebasan berekspresi dan berkeyakinan siswa.
Politik yang berusaha menyeragamkan cara berpakaian siswa inilah yang melahirkan diskriminasi. Kewajiban penggunaan jilbab bagi siswi nonmuslim di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, hanya puncak gunung es. Sebelumnya, di daerah seperti Bali dan Papua, ada siswa muslim yang malah dilarang berjilbab. Dua sikap ini sama-sama diskriminatif, melanggar hak asasi manusia, dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sikap tegas pemerintah soal ini memang sudah lama ditunggu. Namun terbitnya surat keputusan bersama tiga menteri barulah langkah pertama. Kebijakan itu harus dibarengi dengan pencabutan semua peraturan daerah dan regulasi sekolah yang membelenggu ekspresi keagamaan dan keyakinan siswa. Pemerintah, sekolah, atau lembaga mana pun tak boleh lagi mewajibkan seragam khas agama tertentu kepada siswa. Biarkanlah siswa memilih seragam yang dirasa cocok dan nyaman bagi mereka.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah adalah menjamin semua siswa, apa pun agama dan keyakinannya, bebas mengekspresikan kepercayaannya itu. Pemerintah harus melindungi mereka dari ancaman dan tekanan, apalagi bila disertai dengan kekerasan, dari pihak mana pun.
Indonesia bukanlah negara agama. Negara ini lahir sebagai hasil kesepakatan berbagai kelompok agama dan keyakinan. Upaya membawa negara ini condong ke nilai-nilai agama tertentu harus dicegah karena akan membawa kita ke jurang perpecahan. Presiden Joko Widodo tak boleh ragu menegakkan sikap ini secara tegas, sesuai dengan amanat konstitusi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo