Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia seyogianya mendorong anggota lain mengecam aksi brutal Amerika Serikat membunuh komandan Pasukan Quds, Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani. Negara dengan kemampuan militer terkuat di dunia itu tak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan persoalan politik di luar perang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soleimani tewas oleh serangan pesawat nirawak Amerika pada Jumat, 3 Januari lalu, saat menuju Bandar Udara Internasional Bagdad, Irak. Penyerangan tersebut diperintahkan langsung oleh Presiden Donald Trump, dengan alasan orang kuat Iran itu telah “membunuh atau melukai ribuan orang Amerika” serta “tengah merencanakan serangan terhadap diplomat dan militer Amerika”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Amerika boleh saja mengejar musuh negara itu. Namun norma-norma internasional harus dihormati. Menyerang pejabat negara lain di luar wilayah Amerika merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hubungan internasional. Serangan yang dapat dikategorikan sebagai terorisme oleh negara itu semestinya dikutuk. Tanpa sikap tegas PBB dan masyarakat internasional, hal semacam ini akan terus berulang. Kali ini Soleimani dari Iran, kelak entah siapa dan negara apa.
Sejak peristiwa 11 September 2001, dengan alasan melindungi keselamatan warga dan kepentingannya, pemerintah Amerika tidak segan menyerang dan melanggar kedaulatan negara lain secara terbuka. Tak aneh, dalam sebuah jajak pendapat WIN/Gallup International pada 2013, dari 67 ribu responden di 65 negara, sebagian terbesar (24%) menganggap Amerika sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian, diikuti Pakistan (8%) dan Cina (6%).
Konflik Amerika-Irak dapat berimplikasi luas, baik di Timur Tengah maupun dalam masyarakat internasional. Seperti Irak dan Afganistan, kita akan menghadapi tragedi kemanusiaan yang besar jika terjadi perang. Pembunuhan Soleimani juga ditakutkan menyemarakkan kembali terorisme. Kita tentu tidak lupa bagaimana terorisme menguat sejak 2001, merebak hingga ke negara-negara yang tak terkait dengan konflik Amerika. Indonesia bahkan berkali-kali menjadi sasaran bom bunuh diri.
Karena itu, pemerintah Presiden Joko Widodo juga harus menyiapkan langkah mitigasi di dalam negeri untuk menghadapi kemungkinan terjelek dari perselisihan Amerika-Iran. Selain masalah keamanan wilayah, perlu ada persiapan menghadapi lonjakan harga minyak. Soalnya, jika eskalasi konflik terus meningkat, para pedagang memperkirakan harga minyak mentah bisa naik hingga lebih dari US$ 100 per barel.
Harga minyak dunia sempat merangkak naik 5 persen, mencapai US$ 71,75 per barel, pasca-serangan balasan Iran terhadap basis militer Amerika di Irak pada 8 Januari lalu. Hal lebih buruk dapat terjadi kalau Iran menyabotase Selat Hormuz. Selat yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab itu merupakan jalur utama pengiriman minyak dari wilayah tersebut ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Gangguan di perairan itu akan menghambat aliran lebih dari 20 juta barel minyak sekitar 20 persen kebutuhan minyak dunia setiap hari.
Persiapan penting lain adalah memastikan keselamatan warga dan pekerja Indonesia di Timur Tengah. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, pada 2013, jumlah pekerja Indonesia di wilayah itu mencapai sekitar 1,3 juta orang sebagian besar di Arab Saudi. Saat ini tentu sudah jauh lebih banyak. Skenario pengamanan mereka, sampai pemulangan, sebaiknya dipersiapkan sejak dini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo