Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYELESAIAN kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) akan menjadi pertaruhan besar bagi kredibilitas industri jasa keuangan di negeri ini. Bermuara di pasar modal, dugaan terjadinya tindak pidana pada pengelolaan dana investasi berbalut asuransi Jiwasraya bisa menggerus kepercayaan investor terhadap sektor finansial. Padahal sektor ini sekarang amat dibutuhkan untuk menopang perekonomian dalam negeri.
Jiwasraya memang benar-benar ironi tersendiri di industri keuangan. Sewindu terakhir, perusahaan milik negara ini menyabet belasan penghargaan sebagai perusahaan asuransi dengan kinerja keuangan terbaik saban tahun. JS Saving Plan, produk simpanan dengan manfaat perlindungan atas kecelakaan yang diluncurkan pada 2013, laris manis. Pada masa jayanya, produk ini berhasil mendongkrak aset dan laba perseroan.
Baru lima tahun kemudian, akibat kegagalan membayar klaim jatuh tempo, terungkap bahwa duit Jiwasraya hanya gemuk di buku, tapi kempis di kantong. Hingga akhir 2019, kas perusahaan tak sanggup membayar tunggakan klaim sebesar Rp 12,4 triliun.
Pada Oktober 2018 itu, gelembung Jiwasraya yang berisi dana triliunan rupiah yang terus diputar ke saham dan reksa dana berisiko tinggi akhirnya meletus. Keuntungan investasi di neraca Jiwasraya ternyata tak berarti uang tunai masuk ke kas perusahaan. Apalagi manajemen lama ditengarai bekerja sama dengan manajer investasi untuk terus menggoreng saham. Tujuannya agar nilai aset investasi di laporan keuangan Jiwasraya tampak mengkilap. Kejaksaan Agung juga mencurigai adanya fraud—kecurangan untuk menguntungkan pribadi dan pihak lain—dalam pengelolaan investasi tersebut.
Kasus ini bikin miris karena dugaan tindak kriminal itu justru terjadi di industri keuangan, sebuah sektor industri yang telah diatur sedemikian rigid untuk mencegah terulangnya krisis finansial pada 1998. Pengawasannya juga diperketat sejak lahirnya Otoritas Jasa Keuangan, lembaga independen yang mengambil peran pengawasan lembaga keuangan dari tangan Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan. Namun semua gagal mencegah terjadinya kerugian yang kini dialami nasabah Jiwasraya—juga kemungkinan kerugian negara.
Porsi kesalahan terbesar harus ditimpakan pada OJK. Lembaga ini gagal mengendus dan membongkar lebih dini dugaan praktik lancung di Jiwasraya. Padahal, sejak 2016, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan telah membeberkan sederet kejanggalan pada pengelolaan investasi Jiwasraya tahun buku 2014-2015. Maka sudah tepat langkah BPK yang memperluas cakupan audit investigasi kasus Jiwasraya ini ke masalah pengawasan di tubuh OJK.
Agar tuntas, pengusutan kasus ini harus diarahkan ke upaya menagih pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat. Mereka tentu tak bisa hanya dibidik dengan pasal korupsi, tapi juga dengan pidana pasar modal.
Jika penyidikan kelak gagal, kepercayaan masyarakat, yang menjadi sendi utama industri jasa keuangan, bisa hilang. Ini risiko yang tidak kecil. Di tengah gejolak ekonomi global saat ini, pasar finansial merupakan tumpuan pemerintah untuk menambal defisit transaksi berjalan.
Tentu pemerintah tak boleh asal-asalan menyiapkan skema penyelamatan Jiwasraya. Tuntutan sejumlah pihak agar negara menalangi (bail out) kerugian perseroan sepantasnya ditolak. Pemegang polis harus mengerti bahwa jaminan pengembalian investasi mereka di JS Saving Plan merupakan tanggung jawab perseroan. Negara bisa merugi lebih besar jika opsi itu dijalankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo