Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUNGKAPAN dalang di balik komplotan pelindung Joko Soegiarto Tjandra masih jauh dari tuntas, meski sudah ada sederet tersangka dalam kasus lolosnya buron dan narapidana kasus korupsi ini. Pengakuan para jenderal polisi, jaksa, dan pengacara yang terlibat dalam kasus ini menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai pekan lalu, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI telah menetapkan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, dan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sebagai tersangka. Pengacara Anita Kolopaking dan pengusaha Tommy Sumardi juga dinyatakan sebagai tersangka setelah cerita keterlibatan mereka terkuak. Di Kejaksaan Agung, jaksa Pinangki Sirna Malasari menyusul jadi tersangka. Ditambah Joko Tjandra sendiri, total ada enam orang yang sedang dibidik aparat penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerak cepat Kepala Polri Jenderal Idham Azis dan Jaksa Agung St. Burhanuddin itu baru layak diapresiasi jika seluruh jejaring makelar kasus yang membuka jalan bagi Joko Tjandra diungkap kepada publik. Ada indikasi kuat bahwa sebagian pelaku lain belum terungkap. Masih banyak bolong dalam penyidikan keenam tersangka ini, terutama soal peran para petinggi lembaga penegak hukum dalam lolosnya Joko.
Dengan kata lain, pengungkapan kasus ini tak boleh berhenti di pejabat level menengah. Urusan mengamankan skenario pembebasan koruptor kelas kakap tak mungkin hanya menjadi “mainan” jenderal bintang satu dan dua. Apalagi jumlah uang semir yang diduga mengalir kepada mereka hanya sebesar US$ 20 ribu atau sekitar Rp 300 juta. Bandingkan dengan uang suap yang dijanjikan Joko Tjandra untuk jaksa Pinangki, misalnya, yang mencapai US$ 10 juta. Pengakuan Anita dan Pinangki bahwa aksi mereka setahu pejabat kunci di kepolisian dan kejaksaan harus ditelusuri. Apalagi mengingat rekam jejak Anita dan Tommy Sumardi yang dekat dengan aparat penegak hukum.
Penyidikan yang serius dalam kasus Joko Tjandra sungguh teramat penting. Tanpa investigasi yang menyeluruh, patgulipat serupa pasti bakal terulang. Kita tentu masih ingat kasus Gayus Halomoan Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang dibui karena perannya dalam kasus mafia pajak, yang memiliki rekening jumbo miliaran rupiah, pada 2010. Gayus sempat melenggang dari sel penjaranya untuk berpesiar ke Bali, Kuala Lumpur, hingga Makau berkat persekongkolan busuk polisi, pengacara, dan makelar kasus. Sayangnya, otak di balik pelarian itu juga tak pernah diusut tuntas.
Selain itu, penuntasan perkara Joko Tjandra penting untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada sistem penegakan hukum di negeri ini. Khalayak tak mau ada upaya-upaya melokalisasi kasus ini agar tak sampai menyeret pejabat di level yang lebih tinggi, misalnya. Tanpa lembaga penegak hukum yang bisa membersihkan dapurnya sendiri tanpa pandang bulu, sulit berharap ada keadilan untuk semua warga negara.
Di tengah kegamangan orang ramai yang ragu bahwa hukum bisa tegak dalam perkara Joko Tjandra, Presiden Joko Widodo harus turun tangan. Sebagai kepala negara, Jokowi perlu berbicara lantang di hadapan publik, menjamin korupsi dan suap dalam insiden melenggangnya Joko Tjandra akan dibongkar sampai ke akar-akarnya. Komitmen tegas dan dukungan Jokowi penting agar tidak ada kesan Istana melindungi tokoh tertentu.
Pernyataan tegas Jokowi ditunggu karena perbuatan lancung komplotan pengaman Joko Tjandra bukanlah perkara remeh. Mereka telah menyalahgunakan kewenangan sebagai penegak hukum dan mempermainkan kepastian hukum. Tiga organ utama sistem peradilan pidana, yaitu polisi, jaksa, dan pengacara, kehilangan kredibilitas akibat ulah makelar kasus Joko Tjandra.
Presiden Joko Widodo tidak perlu khawatir pernyataannya bisa dinilai sebagai upaya mengintervensi proses hukum, seperti yang kerap dikhawatirkan para pembisiknya di Istana. Seorang kepala negara hanya bisa dituduh mengintervensi sebuah proses hukum jika tindakannya berpotensi menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). Justru sebaliknya, ketika proses hukum di lembaga penegak hukum tidak berjalan sesuai dengan koridor hukum dan perundang-undangan, Presiden wajib mengingatkan dan mengambil langkah koreksi.
Tanpa kepemimpinan dan pengarahan yang terang-benderang dari Presiden Jokowi, sulit membayangkan dalang di balik perkara Joko Tjandra bisa terungkap. Wajah suram penegakan hukum kita tampaknya bakal kian kelam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo