Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Liem Keng Eng kabur ke Singapura dengan menggondol uang Rp 7,6 miliar dari pemalsuan dokumen impor.
Dia dijuluki
Divonis 11 tahun penjara
BULAN ini, Markas Besar Kepolisian RI berencana memulangkan dua buron kelas kakap Indonesia yang kabur ke Amerika Serikat. Mereka adalah Indra Budiman, tersangka pencucian uang Condotel Swiss-Belhotel, Bali, pada 2015, dan Sai Ngo Ng, tersangka korupsi pengajuan 82 kredit fiktif ke Bank Jatim cabang Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan. Sai Ngo Ng dan suaminya, Heriyanto Nurdin, menggasak duit bank daerah tersebut sebesar Rp 23,7 miliar pada 2011-2012.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono, ada barter buron dalam upaya pemulangan keduanya. “US Marshall Service membantu memulangkan dua buron ini dengan imbalan satu buron mereka yang diduga ada di Indonesia,” katanya, Rabu, 5 Agustus 2020. Sebelumnya, buron kelas kakap selama 11 tahun, Joko Soegiarto Tjandra, tersangka kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, ditangkap di Malaysia pada 30 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joker—sebutan Joko Tjandra—merugikan negara sebesar Rp 904 miliar akibat pencairan tagihan tersebut dengan dana yang mengalir ke kantong pribadinya sebanyak Rp 546 miliar. Ada pula Maria Pauline Lumowa, yang menjadi buron selama 17 tahun dalam kasus letter of credit fiktif yang merugikan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun. Maria kabur ke Singapura pada 2003, sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka, hingga akhirnya ditangkap di Serbia pada 9 Juli 2020.
Tempo pada 10 Juni 1978 pernah menulis tentang berakhirnya pelarian Liem bersaudara, yaitu Liem Keng Eng alias Eddy Lukman dan Liem Keng Yan. Dua saudara ini dikenai hukuman 11 tahun penjara. Laporan bertajuk “Keng Eng Sudah di Sini” tersebut mengisahkan “kiprah gelap” penyelundup dan pemalsu dokumen impor sebanyak 3.001 kali ini. Keng Eng, yang saat itu berusia 48 tahun, kabur ke Singapura dengan menggondol uang negara sebanyak Rp 7,6 miliar, yang didapatkan dari berbisnis dokumen impor abal-abal.
Kiprah Keng Eng di antara petugas Bea-Cukai di Tanjung Priok, Jakarta, sudah dikenal luas. Penjahat pemalsu dokumen yang buta huruf ini digelari “Dirjen Bea-Cukai Bayangan” oleh para petugas di lapangan karena dapat memindahkan petugas dari posnya jika dianggap menghalangi kerjanya. Ia, yang diklaim pengacaranya, Albert Hasibuan, tak bisa berbahasa Inggris, terpaksa menghentikan pelariannya di Singapura setelah dua tahun menjadi buron (sejak 1976).
Kepala Seksi Pemeriksaan Bea-Cukai Sujono mengatakan nama Keng Eng bisa membuat bulu kuduk petugas berdiri ketika disebut. “Ia orang kuat, mendengar namanya saja orang sudah takut,” ujarnya. Karena itu, dokumen-dokumen impor abal-abalnya tak pernah dipermasalahkan oleh Bea-Cukai.
Dalam penelusuran, dokumen-dokumen impor palsu tersebut berasal dari Singapura, yang beredar di Indonesia melalui perantara makelar semacam Keng Eng. Dokumen itu digunakan untuk melindungi komoditas mahal, seperti tekstil halus dari Jepang yang diselundupkan ke Indonesia seolah-olah tekstil kasar dari Singapura. Dengan modal jejaring yang baik di Bea-Cukai, dokumen tersebut lolos di tangan Keng Eng.
Namun Albert Hasibuan, pengacaranya, berkukuh mengatakan kliennya tak bersalah karena buta huruf. “Jadi mana mungkin klien saya dapat memalsukan dokumen,” ucapnya di Kejaksaan Agung ketika mendampingi Keng Eng. Perkara Keng Eng ini sudah diputus oleh hakim Soemadijono pada 16 Mei 1978, meski tanpa kehadiran terdakwa, dengan menyatakan Keng Eng bersalah dan harus menjalani hukuman selama 11 tahun penjara. Namun ia menyatakan meminta banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
Keng Eng juga merupakan saksi dalam perkara Arif Gunawan, Direktur Ekspedisi Muatan Kapal Laut Setia Basuki, yang juga didakwa dalam kasus serupa. Dalam persidangan Keng Eng, Arif Gunawan duduk sebagai saksi. Keduanya merupakan sekondan dalam praktik pemalsuan dokumen impor.
Dalam berbagai persidangan, para importir menunjuk Keng Eng sebagai makelar. Mereka mengaku menyerahkan segala urusan yang berhubungan dengan Bea-Cukai kepada Keng Eng, dengan membayar sejumlah uang, dan tak tahu-menahu mengenai aktivitas ilegalnya memalsukan dokumen. Yang jelas, bagi mereka, semua pembayaran bea masuk sudah diselesaikan.
Selain mengarah ke perkara kasusnya yang kini tengah naik banding, sorotan mengarah ke berbagai barang bukti milik Keng Eng, seperti tanah hak milik yang tak terhitung jumlahnya, yang tak masuk berkas perkara. Padahal barang-barang bukti ini masuk daftar sita. Untuk mengawal perkara barang bukti ini, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (yang pada tahun tersebut dipimpin sendiri oleh Presiden Soeharto) ikut turun tangan.
TEMPO, 10 Juni 1978
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 10 Juni 1978. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo