Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Eropa

9 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Aku tahu persis, wahai, Eropa, engkau akan runtuh.”

Kalimat itu tertulis di kertas yang bergelimang darah segar. Mohammed Bouyeri menuliskannya di antara sederet kalimat lain, kemudian memaklumkannya dengan cara yang mengerikan.

Setelah ia tembak mati Theo van Gogh dan lehernya ia sembelih di tepi sebuah jalan di Amsterdam di pagi hari 2 November 2004 itu, ia hunus sebilah pisau lain. Dengan itulah ia cobloskan kertas bertuliskan statemen itu ke dada mayat si korban. ”Aku tahu persis, wahai Eropa….”

Dan dunia pun terbelalak: pemuda keturunan Maroko yang baru berumur 26 itu merasa sedang berjihad melawan kekufuran Eropa, benua tempat ia dibesarkan. Pembunuhan Theo van Gogh adalah bagian dari ”perang suci” itu. Tapi dunia juga tahu, juga dalam ”benturan peradaban” yang dibayangkan Bouyeri, Eropa tak runtuh. Eropa hanya terperanjat.

Tiba-tiba benua itu sadar bahwa dari kancah 15 juta orang muslim yang kini tinggal di sana telah muncul sejumlah orang marah yang mengutip ayat yang marah dan melakukan tindakan yang marah. Dari Hamburg: Mohammad Atta, pemimpin rombongan Al-Qaidah yang menabrakkan dua pesawat ke menara World Trade Center pada 11 September 2001; ia orang Mesir yang jadi radikal selama tinggal di Jerman. Di Madrid: orang muslim lain meledakkan bom di kereta jalur Cercanías, membunuh 191 orang. Di Amsterdam, Mohammed Bouyeri menggorok Theo van Gogh. Di London, 7 Juli 2005, setidaknya tiga pemuda muslim meledakkan diri dengan bom di kereta api bawah tanah dan membunuh 52 orang.

Eropa terperanjat, menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, bertanya, berdebat—sebuah proses diagnostik sebelum menemukan terapi. Adakah kekerasan itu bagian dari sifat dasar Islam sejak khalifah kedua dibunuh? Ataukah ada frustrasi mendalam—seperti yang dialami para imigran muslim yang merasa dihina dan terasing di tanahnya yang baru—yang mendapatkan jawaban dan alasannya dalam Kitab Suci?

Sebenarnya orang muslim Eropa bisa ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan itu—sepanjang mereka mau bertanya dan berdebat di antara mereka. Tapi problem yang berkecamuk ibarat akar mimang: kian sengit kekerasan dilakukan orang muslim, kian buruk pandangan terhadap Islam di Eropa, dan kian buruk pandangan itu, kian marah pula orang muslim.

”Tunjukkan padaku apa yang baru yang dibawakan Muhammad, dan yang kita dapat hanya hal-hal yang keji dan tak manusiawi”—itu kalimat di sebuah kitab di akhir 1391. Bahwa kalimat itu dikutip lagi pada tahun 2005 oleh Paus Benediktus XVI di sebuah pidato di Kota Regensburg, Jerman—hingga memicu reaksi sengit orang Islam di seluruh dunia—menunjukkan betapa panjangnya akar mimang yang membelit Eropa sekarang.

Tapi benua itu bertahan, sebab ada kesediaannya untuk masuk ke dalam proses diagnostik yang terbuka—antara lain karena Eropa telah berhenti jadi pusat dunia. Sejak akhir Perang Dunia II, Eropa terbiasa mengakui keterbatasannya sendiri. Dan tentu Sri Paus di Vatikan yang kecil itu tahu, kata-katanya tak bisa mengubah dunia.

Dua setengah bulan setelah pidato di Regensburg, Sri Paus berkunjung ke Turki. Sebenarnya kunjungan ini sudah disiapkan sejak 2004, ketika Paus Yohanes Paulus masih bertakhta. Tapi setelah ucapannya yang menyakitkan hati tentang Islam, kunjungan Paus punya sisi lain yang mendesak.

Dan di Masjid Biru, Sri Paus Benediktus XVI bergandengan tangan dan berdoa dengan Mufti Besar Istanbul….

Adakah Paus ini kembali ke semangat Nostra Aetate? Dokumen itu, yang disusun semasa Paus Yohanes XXIII dan ditandatangani Paus penggantinya pada tahun 1965, sebuah dokumen bersejarah. Buat pertama kalinya Gereja menyatakan ”rasa hormat” kepada ”kaum muslimin”, sebab ”mereka memuja Tuhan yang Esa”, yang ”rahman dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi”.

Kita tak tahu, pernahkah Benediktus yang naik ke Takhta Suci pada tahun 2005 itu antusias terhadap Nostra Aetate. Dalam sebuah tulisan yang terbit di The New Yorker, 2 April 2007, Jane Kramer menelaah dengan cermat posisi Benediktus XVI dalam menghadapi Islam.

Benediktus, menurut Kramer, tak amat percaya dialog theologis dengan mereka yang bukan Kristen akan berguna—bahkan malah mustahil. Baginya, Islam tak mudah ”dimasukkan ke dalam wilayah bebas masyarakat pluralistik”. Maka tak mengherankan bila sepuluh bulan setelah ia jadi Paus, Benediktus XVI menggeser dialog antaragama (khususnya dengan Islam) menjadi dialog kebudayaan.

Ia sangat ragu ”Islam” layak diajak bicara perkara theologis….

Tapi jangan-jangan itulah yang seharusnya terjadi. Muhammad Javad Fariszadeh, duta besar Iran di Vatikan—seorang filosof yang fasih mengutip Nietzsche, Ricoeur, dan Foucault—mendukung langkah Benediktus. ”Dialog theologis antaragama akan mati begitu ia lahir,” katanya sebagai dikutip Kramer. Bahasa theologis akan jadi militan ketika harus mempertahankan agamanya. Maka dalam dialog, kata Fariszadeh, lebih baik ”tinggalkan theologi di pintu dan kita datang dengan ’bunga’—dan itu bisa berupa ’kebudayaan’”.

Dalam hal inilah Eropa satu saksi yang penting. Tapi ini ”Eropa” yang tak dibayangkan Benediktus XVI. Ini bukan sebuah ruang yang ditopang satu atau dua sistem kepercayaan, bukan sebuah kehidupan yang hanya dibaca secara theologis. Ini Eropa yang mau tak mau jadi tempat orang saling menawarkan ”bunga”.

Sebab kebudayaan, juga di sini, terbentuk oleh laku, oleh hal yang sepele dan sekuler—dengan atau tanpa Nostra Aetate: pertandingan sepak bola, lagu pop, film televisi, lotere, dan perdebatan bagaimana menyehatkan pohon di taman. Itulah yang sebenarnya terjadi di Eropa berabad-abad: yang disebut ”Eropa” adalah sebuah lalu lintas perdagangan dan pengetahuan, yang selalu membuka ruang yang kemudian disebut kebebasan, biarpun terkadang susah payah.

Saya tak tahu bagaimana ia akan runtuh, Bouyeri.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus