Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ilusi Aksi Filantropis Politikus

Pemerintah dan para pejabat kian sering memperlihatkan aksi-aksi filantropis. Mengapa buruk bagi demokrasi?

29 Februari 2024 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kurnia Togar Pandapotan Tanjung
Pengajar Bidang Studi Hukum Ekonomi dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Awal pekan ini, masyarakat dipertontonkan aksi Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang membagi-bagikan bahan pangan kepada masyarakat saat meninjau stok komoditas pangan menjelang Ramadan di Pasar Klender, Jakarta Timur. Dalam kunjungan itu, seorang penjual ayam potong “menodong” sang menteri untuk membeli dagangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Zulhas—panggilan Zulkifli—pun memborong 20 kilogram daging ayam seharga Rp 700 ribu. Ia juga meminta sang pedagang membagikan daging itu kepada masyarakat yang melintas masing-masing 1 kilogram. Berpindah ke pedagang beras, Zulhas lalu membeli 20 kemasan beras program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ukuran 5 kg seharga Rp 55 ribu. Lagi-lagi, beras itu ia bagikan kepada warga yang ada di pasar.

Sebulan sebelumnya, dalam sebuah acara debat di salah satu stasiun televisi, Wakil Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie—yang juga anggota koalisi pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka—bercerita bahwa Prabowo menggelontorkan uang pribadi demi proyek food estate di Kalimantan Tengah. Tidak jelas berapa nilai uang yang keluar dari kocek Prabowo. Patut diduga jumlahnya sangat besar demi “menyelamatkan” megaproyek yang cenderung gagal itu.

Dari dua contoh itu, timbul pertanyaan. Salahkah Zulhas dan Prabowo berlaku filantropis semacam itu? Tentu tidak. Siapa pun tidak boleh dilarang untuk bersedekah. Namun persoalan muncul karena mereka adalah menteri yang tengah menjabat. Salah satu indikator keberhasilan mereka sebagai pejabat pemerintahan adalah memastikan tercapainya target dan program kerja mereka, sesuai dengan anggaran instansi masing-masing. Bukan berlomba-lomba menjadi filantrop.

Namun, jika melihat berbagai peristiwa yang terjadi belakangan, laku filantropis para punggawa pemerintahan itu sesungguhnya tidaklah mengherankan. Menjelang Pemilihan Umum 2024, pemerintah tengah menjadi filantrop yang begitu "dermawan". Salah satu contohnya adalah maraknya praktik politik gentong babi atau pork barrel politics lewat gelontoran program bantuan sosial (bansos).

Cukup banyak analisis yang rasional dalam menilai lonjakan anggaran perlindungan sosial pada 2024—bahkan dibanding masa pandemi—sebagai cara untuk memastikan pemilih mencoblos calon yang didukung Presiden Joko Widodo. Langkah itu tentu saja bisa dianggap berhasil karena perolehan suara pasangan yang disebut didukung Jokowi, yakni Prabowo-Gibran, dalam penghitungan hasil pilpres 2024 hampir tak mungkin dikejar oleh pasangan calon lain.

Pergeseran Makna Filantropis

Jika kita melihat definisi katanya, filantropis berasal dari istilah Yunani Kuno, philanthropia. “Philos” berarti “cinta” dan “antrophos” berarti “manusia” atau “kemanusiaan”. Idealnya, setiap laku filantropis adalah laku cinta kepada manusia lain dan kemanusiaan. Sebuah aktivitas altruistik: hanya memberi, tak berharap kembali.

Pertanyaannya, ketika yang melakukan adalah pejabat publik cum politikus, tidakkah kita curiga? Politikus adalah makhluk elektoral. Setiap senyum, jabat tangan, hingga pemberian uang, baik dari kocek pribadi bahkan anggaran negara yang dikelolanya, tentu memiliki kalkulasi elektoral tersendiri. Apabila rakyat dibantu, bagaimana memastikan persepsi mereka baik terhadap si politikus? Lalu, bagaimana mengkonversi persepsi yang baik tadi ke dalam akumulasi suara? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita perlu curiga terhadap setiap politikus yang menjadi filantrop. Termasuk curiga pada kebijakan yang terindikasi sebagai politik gentong babi.

Paulo Freire dalam karyanya, Pedagogy of the Oppressed (1970), mengkritik setiap pendekatan pemerintah yang menganggap warga negara sebagai “resipien pasif” ketimbang “partisipan aktif”. Setiap tindakan yang demikian tidak lebih merupakan cara untuk menciptakan realitas ilusif dari kaum tertindas. Dalam menjelaskan postulat Freire tersebut, kita perlu menyelami konsep “gaya bank” atau “banking education” yang dia ciptakan. Berpijak pada model pendidikan tradisional, Freire menunjukkan bagaimana guru mendeposito pengetahuan pada murid sebagai resipien pasif, becermin pada bagaimana kekayaan dideposito di rekening bank.

Konsep Freire itu pararel dengan model filantropis ala pemerintah yang menjadikan warga sebagai resipien pasif. Warga negara menjadi layaknya murid di sebuah kelas dengan “gaya bank”. Rakyat kehilangan ruang kritisnya dalam praktik pelembagaan hubungan subordinatif, yang menciptakan sosok layaknya berhala melalui sosok politikus yang siap memberi solusi ringkas lewat aksi filantropis.

Tindakan filantropis yang sejatinya superfisial tadi patut diduga sebagai upaya menina-bobokan rakyat. Penyebabnya, pertama, rakyat terperangkap ilusi bahwa persoalan telah terselesaikan. Kepuasan semu dalam jangka pendek tercipta dan mereduksi setiap harapan untuk menghadirkan perubahan sistemik. Kedua, politikus berupaya mendistraksi fokus masyarakat. Ketimbang mendorong terciptanya akuntabilitas dan perubahan struktural, warga negara akan berfokus memuji-muji kedermawanan para pejabat cum politikus. Hal ini mengaburkan kewajiban pemerintah sesungguhnya untuk mengutamakan kepentingan publik.

Ketiga, praktik semacam ini sebenarnya sebuah bentuk pembungkaman. Kecemasan bahwa sikap kritis kepada pejabat dan politikus yang dermawan sebagai sikap tidak tahu terima kasih dan tak beradab membuat setiap upaya diskursus publik yang membedah persoalan-persoalan struktural jadi tak penting lagi. Padahal, sebagaimana yang selalu didengungkan Habermas, diskursus publik yang terbuka dan rasional adalah satu-satunya cara membuat demokrasi berfungsi. Filantropis semu dari pemerintah adalah upaya bypass percakapan publik dan analisis kritis dalam proses demokratisasi.

Di luar bahaya-bahaya yang mengintai demokrasi tadi, aksi filantropis para politikus pun sebetulnya lekat dengan praktik korupsi, bahkan pencucian uang. Siapa yang bisa menjamin pejabat yang mengeluarkan uang dari kocek pribadi sedang menggunakan uang dari sumber yang halal?

Apa yang dilakukan Zulhas dan Prabowo adalah lonceng yang seharusnya menyadarkan kita. Bisa jadi, dalam beberapa tahun ke depan, kondisi kehidupan bernegara kita akan semakin buruk. Setiap adanya indikasi krisis, seperti kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok, atau kegagalan proyek pemerintah dan malah menggeregoti keuangan negara, akan "dipadamkan" dengan aksi para politikus berbungkus kedermawanan. Politik gentong babi lewat gelontoran bansos menjelang pemilu yang tidak rasional juga merupakan tanda nyata bahwa kita sudah memasuki era di mana warga negara dikondisikan menjadi resipien pasif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Kurnia Togar Pandapotan Tanjung

Kurnia Togar Pandapotan Tanjung

Pengajar bidang studi Hukum Ekonomi dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus