Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Film CODA: Kisah Ruby Rossi dalam Dunia Sunyi

Sebaiknya kita lebih mengingat film Coda berhasil keluar sebagai Pemenang Film Terbaik, Skenario Adaptasi Terbaik, dan Aktor Pendukung Terbaik Academy Awards tahun ini. Sebuah film tentang keluarga tunarungu yang cemerlang.

6 Mei 2022 | 16.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutradara: Sian Heder
Skenario: Sian Heder
Berdasarkan: La Famille Bélier karya Éric Lartigau
Pemain: Emilia Jones, Troy Kotsur, Marlee Matlin, Eugenio Derbez, Ferdia walsh-Peelo, Daniel Duranr

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

* * *

Di perairan Gloucester, Ruby Rossi bersama sang ayah dan kakaknya Leo mengarungi pagi yang masih gelap, sembari meraup kawanan ikan dalam jaring. Rubby bernyanyi kepada laut, seolah mengundang ikan ke permukaan, meski ayah, Leo, dan ibunya tak menyadari betapa suara si bungsu begitu menggetarkan, begitu membelai jiwa.

Di desa nelayan kawasan Manchester, keluarga Rossi adalah bagian dari penduduk yang mencari nafkah sebagai nelayan, berkawan dengan asinnya laut dan gemuruh badai. Namun keluarga Rossi adalah keluarga tunarungu. Hanya Ruby Rossi (yang diperankan oleh pendatang baru Emilia Jones) si bungsu yang lahir dengan pendengaran sempurna dan bersuara emas yang tak disadari keluarganya. 

Di sekolahnya, Ruby lebih dikenal sebagai gadis berbau amis karena saban hari setelah bergaul dengan laut dan ikan sejak subuh, dia terkadang tak sempat berganti baju lagi. Ruby tak saja menjadi bulan-bulanan teman sekolahnya, dia bahkan hanya bisa memandang si ganteng bersuara emas Miles (Ferdia Walsh-Peelo) dari jauh. 

Tak heran, sebagaimana remaja SMA, si ganteng mendaftar kelompok koor, maka Rubypun ikut-ikutan mendaftar supaya bisa bertemu dengan pujaan hati. Tanpa disadari, Ruby melejit menjadi bintang kelas. Sang guru, Pak V (Eugenio Derbez) menemukan intan yang perlu diasah dan menawarkan diri menjadi pembimbing Ruby untuk audisi menuju sekolah tinggi musik terkemuka, Berklee College of Music di Boston.

Tetapi pertanyaan terpenting: mungkinkah Ruby bisa meninggalkan keluarganya yang sangat tergantung kepadanya sebagai jembatan pada "dunia yang bisa mendengar"? Film yang diadaptasi dari film Prancis-Belgia berjudul La Famille Bélier karya Éric Lartigau ini memperkenalkan sesuatu yang baru kepada penonton awam. 

Jika pada film "Sound of Metal" (Darius Mader, 2019) bercerita seorang penggebuk drum yang perlahan-lahan kehilangan kemampuan pendengarannya dan belajar memasuki "dunia sunyi", film ini justru menceritakan Child of Deaf Adults (CODA), kisah Ruby, sang anak dari pasangan tunarungu. 

Dalam film ini baik sang ayah (diperankan Troy Kotsur yang memperoleh Oscar sebagai Peran Pendukung Pria Terbaik) dan ibunya Jackie (Marlee Matlin) sama-sama diperankan oleh aktor dan aktris tunarungu. Nama Marlee Matlin yang melejit dalam film "Children of a Lesser God" (Randa Haines, 1986) berhasil menyabet penghargaan Aktris Terbaik Academy Awards tahun 1987 mengalahkan aktris besar seperti Sissy Spacek dan Jane Fonda. 

Inilah yang membedakan film CODA, bahkan dengan film orisinil sumber dari cerita film ini La Famille Bélier yang dikritik karena tak menggunakan aktor aktris tunarungu. Tetapi bukan sekadar sikap para sineas film ini, melainkan juga cerita sederhana dan penuh humor yang berakhir menyenangkan ini seolah mengembalikan "nama baik" film-film happy-ending. 

Film-film Hollywood sudah begitu formulaik, begitu klise dengan resep "happy ending" hingga lama-kelamaan penonton -paling tidak dalam beberapa tahun terakhir- banyak yang beralih pada produksi Eropa atau Asia (tepatnya Korea, India, dan Jepang). Film Coda, meski mengangkat tema yang cukup serius -bagaimana dunia sunyi dan dunia bising, bisa bertemu dan berhadapan dengan intim.

Hal lain yang asyik dari film ini adalah bagaimana CODA dengan santai menggambarkan orang tua Ruby berhubungan intim untuk menunjukkan betapa kehidupan dan rutinitas mereka sebagai manusia biasa. Bahwa adegan saat ayah Ruby mencoba memahami kedahsyatan suara anaknya -dengan memegang leher Ruby agar merasakan vibrasi suara, adalah babak yang mengharukan. Apalagi adegan akhir yang tak perlu diceritakan karena memang film ini sebaiknya disaksikan saja. Ruby menemukan cara bagaimana bernyanyi untuk mereka yang hidup di dunia sunyi. 

Kendati babak demi babak film ini tetap menggunakan formula yang sudah kita kenal, tetapi sutradara Sian Heder menampilkan hal-hal istimewa yang membuat penonton kembali percaya: film yang menyenangkan tak berarti klise. Ketika akhirnya menyaksikan Ruby mengucapkan perpisahan sementara dengan perairan yang dicintainya untuk menumbuhkan bakatnya dalam menyanyi, dia tahu dia tetap tak akan meninggalkan dunia sunyi keluarganya. Dia sudah tahu bagaimana bernyanyi untuk mereka.

LEILA S. CHUDORI

Baca juga:
CODA Raih Predikat Best Picture Oscar 2022, Troy Kotsur Rebut Hati Penonton

Leila S. Chudori

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus