Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Frankenstein

Lebih dari 200 tahun sebelum dunia menyambut zaman “kecerdasan buatan” dengan gairah dan cemas, di tahun 1818 sebuah novel terbit: Frankenstein, or the Modern Prometheus, karya Mary Shelley.

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Frankenstein

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh utama pertamanya: seorang manusia buatan—agaknya bentuk awal AI, “artificial intelligence”. Ia tak punya nama. Ia cuma disebut si “makhluk”. Ketika novel Shelley dijadikan lakon, di daftar pemain si “makhluk” hanya ditulis dengan “——”.

Tokoh utama kedua: Dr Victor Frankenstein, ilmuwan dan peneliti yang menciptakan “makhluk” tak bernama itu. Orang ini percaya kepada kedahsyatan ilmu, terutama kimia, dan melihat dunia dengan analisis dingin seorang materialis. Sejak kecil ia tak percaya dunia gaib yang seram. “Gelap tak punya efek bagi angan-anganku,” katanya. “Halaman gereja bagiku hanya wadah jasad manusia yang sudah tak lagi hidup... makanan cacing.” Keistimewaan manusia tak diakuinya. Di dalam tanah, “Cacing mewarisi apa yang dulu menakjubkan: mata dan otak.”

Sampai batas tertentu, novel ini sendiri menggarisbawahi materialisme itu. Tokoh pertamanya adalah sesuatu yang dirakit Frankenstein dari dunia materi: sisa-sisa tubuh manusia. Tak disebutkan di dalamnya ada “nyawa”, dan dari mana pula. Yang jelas, Frankenstein, sang ilmuwan, adalah contoh optimisme modern. “Kalau aku nanti sanggup menghidupkan benda mati,” katanya, “aku mungkin akan sanggup membuat hidup jadi baru kembali.”

Dalam novel ini, tak hanya hidup yang diproduksi dan direnovasi. Makhluk yang dirakit Frankenstein juga mampu membaca karya sastra dan sejarah. Tapi pengetahuan itu tak menyelamatkannya. Dari bacaannya ia tahu riwayat panjang yang berulang tentang ketidakadilan: bahwa yang lemah selalu dianiaya yang kuat.

Dari sana: tragedi. Makhluk dengan kecerdasan buatan itu ternyata tumbuh dengan dendam kepada ilmuwan yang menciptakannya—jenius yang merasa ngeri ketika melihat hasil kreasinya sendiri. “Terkutuk! Terkutuk kau, pencipta! Kenapa aku hidup?” itulah pertanyaan manusia rakitan itu—dan kita seperti mendengar keluh eksistensial manusia yang menggugat Tuhan karena ia diletakkan di bumi yang najis dan sengsara.

Si “makhluk” pun jadi pembunuh. Ia matikan orang-orang kesayangan Frankenstein, lalu melarikan diri.

Menghadapi itu, dalam keadaan menyesal, galau, dan dendam, Frankenstein mencari si “makhluk” sampai ke kutub utara. Tak berhasil. Pada akhirnya, Frankenstein meninggal. Yang mengejutkan, di sisi jenazah sang ilmuwan yang terbaring dalam kapal yang terapung di laut es, si “makhluk” menangis: marah, pahit, menyesal, duka. “Farewell, Frankenstein!”- itu desah akhirnya. Ia meloncat ke dalam ombak dingin. Lenyap.

Muram, tapi menyentuh, itulah yang kita rasakan mengikuti kisah “kecerdasan buatan” ini—berbeda dengan percakapan tentang AI sekarang. Meskipun ada rasa cemas yang mirip.

Frankenstein, or the modern Prometheus ditulis Mary Shelley dalam keadaan hamil, beberapa bulan setelah bayinya yang lahir lebih dulu meninggal. Itu tahun 1815. Cuaca berkepanjangan gelap; langit Eropa berhari-hari diselaputi debu Gunung Tambora yang meletus dengan mengerikan nun jauh di Indonesia.

Ada kesadaran akan bumi yang rapuh dan kecil ketika malapetaka besar mengguncang kehidupan. Ada perasaan tentang nasib buruk yang tak bisa dikendalikan karena alam tak selamanya bisa dikuasai. Ilmu yang ditekuni Frankenstein mengingatkan kita kepada api dalam mithologi Yunani: api diberikan Prometheus kepada manusia—membuat terang, memberi energi, tapi juga merusak dan mematikan. Frankenstein seorang Prometheus modern: jenius ini akhirnya hanya memproduksi mala.

Mala itu, si “makhluk”, dirakit dan berkembang dalam hidup yang tak 100 persen transparan seperti sutra. Si “makhluk” bukan superkomputer yang bersemboyan “aku tahu, maka aku ada”. Ia bisa terkecoh dan menyesal karena ia tak tahu—tak bisa memprediksi—akibat perbuatannya.

Kini lain. Kita hidup di zaman AI yang “mahatahu”. Ia-tahu-ia-ada-ia-berkuasa. Di tatapannya, manusia dipantau, ditebak, diubah, dikalahkan.

Di Universitas Stanford ada laboratorium “Persuasive Technology”; kita sering dengar sistem “kecerdasan buatan” yang bisa meretas dan membujuk orang membeli sepatu Zara atau memilih kubu politik X. Di sana Frankenstein abad ke-21 telah membangun “makhluk” yang sanggup menembus “kesadaran” orang, dengan memotret rinci dari saat ke saat perilaku orang itu: gerak matanya, gayanya melangkah di kaki lima, caranya mengunyah nasi. Semua itu data untuk diolah jadi potret yang jelas.

Di kuil Delphi di Yunani Kuno pernah ada petuah: “Kenalilah dirimu!” Kini petuah itu jadi praktik AI yang “mengenal” diri siapa saja dengan menerobos dan memantau lapis kesadaran yang terdalam. Dalam praktik itu, “kenal/tahu” adalah sebuah laku kekerasan terhadap hak untuk tak diketahui.

Kita kehilangan “si makhluk” Mary Shelley. “Hatiku dirancang untuk bisa disentuh kasih sayang dan simpati,” katanya. Momen itu tak terasa lagi ketika “mengetahui” direnggutkan dari rasa sayang dan simpati.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus