SEBUAH pemandangan unik tampak di Jalan Majapahit, Semarang. Pagi itu, pukul tujuh, rombongan wartawan yang mengikuti lokakarya PWI Pusat tentang masalah urbanisasi di Indonesia menyaksikan arus pekerja yang mengendarai sepeda memasuki kota. Mereka datang dari Mranggen, Demak. Saban hari mereka pulang pergi ke tempat mereka bekerja. Pagi datang, sore pulang, dengan menggenjot sepeda menempuh jarak barisan belasan kilometer. Iring-iringan pengendara sepeda itu bagaikan tak putus-putusnya. Mereka terdiri dari pria dan wanita -- kebanyakan memakai sandal jepit, tidak ada yang membawa tas. Antara pukul enam dan delapan pagi mereka masuk kota, dan tidak jarang membikin lalu lintas macet. Berapa jumlahnya, wallahualam. Menurut sebuah pemeo, mereka adalah orang-orang yang takut pada matahari. Sebelum matahari terbit mereka sudah berangkat, dan sebelum matahari tenggelam mereka mengayuh sepeda kembali ke rumah. Saya pernah melihat di Tokyo ratusan pekerja Jepang yang datang dari luar kota dengan menumpang kereta api, dan pada malam hari kembali ke tempat kediaman dengan kereta api lagi. Demikian pula di New York, dan mereka dinamakan train commuters -- orang ulang-alik dengan kereta api. Di Indonesia, juga ada ulang-alik kereta api, yaitu mereka yang berdiam di Bogor, Depok. Saban hari mereka pergi ke tempat pekerjaan di Jakarta dengan menumpang kereta api Jabotabek. Tapi ulang-alik sepeda di Indonesia agaknya hanya terdapat di Semarang. Heran, hal ini tidak banyak diliput oleh pers. Para wartawan setempat mungkin menganggap gejala itu sudah biasa dan tidak mengandung nilal berita. Tapi bagi saya, sebagai orang luar yang bloon, gejala ulang-alik sepeda itu saya anggap patut diliput, karena niscaya mengandung banyak segi human interest. Dari lapisan penduduk manakah mereka yang pulang balik dengan sepeda itu? Di manakah mereka bekerja? Berapa penghasilan mereka? Mengapa mereka sebagian besar golongan usia muda? Apakah suka duka mereka? Mengapa mereka tampak tidak banyak bercakap-cakap meski menggenjot sepeda berpasang-pasangan? Semua itu pertanyaan yang ingin saya ketahui jawabannya. Dalam lokakarya PWI Pusat, seorang pakar bercerita bahwa golongan penduduk yang termasuk angkatan kerja (10-64 tahun) sekitar 65-75% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebagian besar pekerja (70-80%) berpendidikan tidak lulus SLTP serta tidak mempunyai keahlian khusus. Saya ingin tahu bagaimana tingkat pendidikan sekolah para ulang-alik sepeda itu, dan apakah betul mereka tidak punya keahlian. Urbanisasi, menurut pengertian ilmiah populer, adalah perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke arah perkotaan. Dalam arti sekunder ialah perubahan sikap budaya dan tingkah laku yang diakibatkan oleh perpindahan penduduk pedesaan. Apakah gejala ulang-alik sepeda itu dapat dikategorikan sebagai suatu masalah urbanisasi? Mereka tidak pindah lalu menetap di Kota Semarang, tetapi kembali ke daerah pedesaan di Kabupaten Demak. Ya, ini bukan urbanisasi permanen, melainkan urbanisasi yang temporer sifatnya, kilah seorang cendekiawan. Lantas bagaimana dengan sikap budaya dan tingkah laku mereka? Adakah berubah? Pasti hal itu terjadi, walaupun mereka cuma di siang hari berada dalam kota dan malamnya sudah berada lagi di desa. Bagaimana wujud perubahan tingkah laku itu? Inilah yang perlu diteliti oleh pakar-pakar sosiologi. Yang pasti dapat saya jawab ialah hadirnya ulang-alik sepeda itu di Kota Semarang seluruhnya dapat dimengerti. Orang bilang, 70-80% uang yang beredar di Indonesia -- berjumlah Rp 11,4 trilyun -- terdapat di kota-kota besar, sehingga segala kegiatan ekonomi memusat di kota. Kesempatan kerja lebih banyak terdapat di kota-kota ketimbang di pedesaan. Jadi, kota memiliki daya tarik kuat bagi penduduk daerah pedesaan. Mereka datang ke kota-kota dengan harapan akan memperbaiki nasib dan peri kehidupan mereka. Timbullah urbanisasi. Apabila urbanisasi disertai industrialisasi, serba masalah yang berkaitan dengan lapangan kerja lebih mudah diatasi. Tapi apabila urbanisasi terjadi tanpa industrialisasi dan malahan yang tampak adalah urbanisasi dengan ruralisasi, maka masalah sosial-ekonomi menjadi rumit. Pembangunan boleh dianggap berhasil, tapi kesenjangan tidak dapat dihindarkan, yaitu antara golongan yang secara sosial-ekonomi kuat dan golongan yang secara sosial-ekonomi lemah adanya. Di India, ada istilah khusus untuk menamakan kedua golongan itu. Golongan yang kuat disebut golongan amir (bukan mustahil kata ini berasal dari bahasa Arab amara, yang memberi perintah, kaum Sultan dan raja, orang kaya). Sedangkan golongan yang secara sosial-ekonomi miskin disebut golongan garib. Di kebanyakan negara Dunia Ketiga terdapatlah golongan amir dan garib itu. Maka, menyaksikan ulang-alik sepeda di Jalan Majapahit pada pagi itu, hati saya pun berkata, "Inilah golongan garib semoga Tuhan beserta mereka."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini