Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Umi Sardjono dan Hantu Tahunan PKI

Perlu keberanian mengungkap sejarah PKI dan G30S 1965—termasuk tentang Gerwani dan Umi Sardjono, ketuanya. Masyarakat saling benci akibat sejarah yang diselewengkan.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Umi Sardjono dan Hantu Tahunan Itu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Biografi Umi Sardjono, Ketua Umum Gerwani, yang mendapat stigma hitam terlibat G30S.

  • Tokoh feminisme dalam sejarah dalam kelompok kiri.

  • Stigmatisasi kepada PKI dan Gerakan 30 September yang tiada henti.

TIAP 30 September, tiap kali hari peringatan G30S datang, kita disergap benci, fitnah, dan kabar bohong. Bertubi-tubi di media sosial dan grup-grup percakapan tanda bahaya yang lebih mirip hantu jadi-jadian itu dihidupkan: Partai Komunis Indonesia atau PKI bangkit dan menyusup, Republik akan jatuh ke tangan komunis, dan Indonesia telah dipimpin oleh kader partai terlarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah 56 tahun tragedi itu berlalu, sejarah 1965 masih dicat dengan satu warna: hitam atau putih. Komunis adalah si lancung pemberontak Republik dan mereka yang memusuhinya adalah orang sadik yang harus disokong. Masa silam tak dipelajari lebih dalam—juga sejarah tokoh-tokohnya yang boleh jadi banyak menyimpan hikmah kebijaksanaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari menengok Umi Sardjono. Mengetuai Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI, Umi lumat dalam tragedi 1965. Ia ditangkap tanpa tahu apa yang terjadi. Sejarawan John Roosa dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal, menyebutkan aksi penculikan jenderal disiapkan oleh segelintir orang di dalam PKI—dua yang terpenting adalah D.N. Aidit sebagai ketua partai dan Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro Chusus.

Umi berada jauh di luar lingkar G30S. Tanpa pengadilan, ia dipenjara di Bukit Duri, Jakarta, dan kamp tahanan Plantungan, Jawa Tengah, hingga dibebaskan pada 1979. Sejarah hidupnya tak diketahui publik sampai Soeharto jatuh pada 1998.

Gerwani lahir dari keresahan kaum perempuan. Mula-mula bernama Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis)—gabungan dari enam serikat organisasi perempuan di Jawa—Gerwani dengan cepat tumbuh dan membesar. Pada pertengahan 1960, anggotanya diperkirakan mencapai 1,5 juta orang. Meski memiliki hubungan dengan PKI, Gerwani dipercaya merupakan organisasi independen. Mereka memusatkan perhatian pada isu sosialisme, nasionalisme, dan feminisme—termasuk menjalankan reformasi hukum perkawinan dan hak-hak buruh.

Di bawah Umi, Gerwani menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, membangun sekolah, dan memperjuangkan hak politik wanita. Saat menjadi anggota legislatif dari utusan perempuan, Umi memperjuangkan Undang-Undang Keimigrasian, khususnya penghilangan kewajiban perempuan didampingi muhrimnya—ayah, suami, atau kakak-adik laki-laki—saat bepergian ke luar negeri. Umi juga membahas Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang menolak poligami.

Dalam prahara 1965, Gerwani, seperti organisasi sayap PKI lain, terbenam dalam sumur hitam sejarah. Kisah hidupnya dijungkirbalikkan pemerintah Soeharto agar komunisme dapat menjadi musuh bersama. Anggota Gerwani, misalnya, dikisahkan menjadi bagian penting dari penyiksaan jenderal di Lubang Buaya. Mereka disebut menyilet kemaluan korban, juga bernyanyi dan menari tanpa busana. Autopsi para jenderal yang diungkap setelah Soeharto jatuh membuktikan penyiksaan itu tidak pernah ada.

Pelbagai fitnah dan salah kaprah itu berlanjut dan dipelihara hingga hari ini. Dampaknya bukan sekadar pada ketegangan politik dan mudahnya komunisme dipakai sebagai alat memberangus, tapi juga pada sulit tercapainya rekonsiliasi orang ramai. Lima presiden era reformasi tak secara signifikan melakukan klarifikasi sejarah—terkecuali Abdurrahman Wahid yang pernah mencoba mengupayakan penghapusan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang melarang komunisme meski belakangan gagal.

Pada awal periode pertama pemerintahannya, Joko Widodo sempat membuat seminar 1965 untuk rekonsiliasi. Didemo massa, seminar itu berakhir antiklimaks. Rekomendasi persamuhan itu tidak ditindaklanjuti dan pemerintah dituding berpihak kepada komunis. Tekanan politik itu barangkali tidak diduga Jokowi. Ia surut langkah.

Serangan kepada Jokowi belakangan—fitnah dia anak komunis hingga partai pendukungnya disusupi PKI—membuatnya merangkul kelompok Islam, mereka yang paling keras bersuara tentang bahaya komunisme. Puncaknya adalah ketika ia merekrut Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, strategi yang belakangan terbukti tak meredakan fitnah.


Baca liputannya:


Pengungkapan sejarah pada akhirnya membutuhkan niat baik yang datang tidak dari kepentingan politik jangka pendek. Penyingkapan masa lalu harus muncul dari kesadaran bahwa masa silam perlu diluruskan agar masa depan bisa ditatap dengan lebih benderang. 

Perlu keberanian untuk menguak sejarah G30S 1965 dan PKI. Rekonsiliasi tidak bisa dicapai jika kebenaran tidak diungkap. Masyarakat yang saling benci akibat membaca sejarah yang diselewengkan sulit dikonsolidasi untuk bekerja bersama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Umi Sardjono dan Hantu Tahunan Itu"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus