Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gombal, nggombal, gombaaal ...

Di lereng gunung berapi pendapatan petani-gurem-penyakaf minim sekali. tuan tanah akan meningkatkan produksi daerah tersebut, maka petani gurem rajin terus. hanya minoritas yang ramai bergombal-gombal.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAPA akan menyangka sobekan-sobekan tekstil bekas yang biasanya cuma berfungsi sebagai lap mebel, mobil atau sepeda akan tumbuh menjadi kata-bersayap yang ekspresif? Gombal, kata Jawa buat sobekan tekstil itu, mula-mula memang cuma berarti sobekan bekas. Kegunaannya juga terbatas untuk mengelap kotoran yang melengket pada benda-benda. Maka umur gombal itu sebagai tekstil murni juga terbatas. Yang kembang-kembang akan segera lusuh kembang dan warnanya. Yang putih, akan langsung menjadi coklat kehitaman. Maka gombal pun segera mendapatkan konotasi kotor, melarat dan cabik-cabik. Berkembanglah kata gombal menjadi nggombal. Yakni kata-benda sobekan yang menjadi lap itu berubah menjadi kata-sifat yang berarti melarat dan compang-camping. Orang yang nggombal adalah orang yang jatuh miskin, pakaiannya sobek-sobek, kotor tidak pernah ganti. Kemudian ingatkah anda akan nyanyian Jalal,JanjiGombal, yang tempo hari sempat dijajakan di televisi? Dalam nyanyian itu Jalal meratap dan meradang karena kekasihnya tidak menepati janjinya. Maka dia berteriak: janji gombaaaal .... Di sini gombal berkembang menjadi sesuatu yang aneh. Dari secabik bahan tekstil sisa, sobekan lap, ia dikembangkan menjadi satu metafora yang mengisyaratkan satu arti kebohongan dan ketidak-seriusan. -- Sabtu sore aku bawa kau nonton, terus makan di Java Room lantas berajojing di Pitstop. Mau 'kan say? -- Alah, gombaaal. Berapa kali sudah kau janji begitu . . . -- Sumpah lap-der! Kali ini beneran deh say .... -- Aaah, gombal! Nggak percaya. Sekali gombal kau tetap gombaaal .... Kasihan juga nasib sobekan lap itu. Sudah sobekan, jadi lambang kemelaratan, berkembang jadi tidak bonafide lagi . . . *** Dalam kunjungannya ke panen besar di Desa Sumurgintung baru-baru ini Presiden menganjurkan para petani untuk hidup sederhana karena keadaan kita masih prihatin. Hidup sederhana itu, begitu kata Presiden, bukan berarti nggombal, tetapi yang wajar sesuai dengan kemampuan (Suara Merdeka, 24 Maret 1980). Hatta, Pak Karyomartani petani-gurem yang menyakap sawah Pak Haji Ngimron Mustakin di lereng Gunung Merapi sono tidak bebas dari sentuhan siklus padi vutw, pupuk dan kredit. Meskipun tidak langsung. Artinya pak haji yang mengurus itu semua, Pak Karyo yang mengutang. Jam kerjanya di sawah tidak terbilangkan lagi. Menghitungpun belum tentu bisa dia! Yang penting jam itu mengulur antara fajar merekah dan menjelang matahari menggelinding ke barat. Turun ke sawah, menggarap sawah, pulang. Kerja, kerja, kerja. Hari demi hari demikian terus. Gembirakah dia? Entahlah. Gembira mungkin ciut saja dimensinya bagi Pak Karyo. Melunasi hutang pada waktunya, ada sisa sedikit dari padinya, ada sedikit uang buat garam dan ikan asing . . . Akan hal lainnya? Sedikit entertainment buat keluarganya, baju-baju bagi istri-anak dan dirinya sendiri? Wah, celana komprang hitam berkolor dari kain-kastup sudah Rp 1.500 di pasar. Bahan lurik sekain sudah hampir Rp 2.000. Baju seragam anaknya di SD Pancasila? Wah, wah, wah . . . Pak Karyomartani (bersama berjuta kolega petani-gurem penyakap lainnya) sederhana saja jangkauan impiannya. Bisa melunasi kredit pada waktunya ada sedikit simpanan beras dan uang lauk-pauk yang cuma ikan-asin dan garam plus dedaunan yang merambat di kebunnya. Akan kemungkinan pada suatu waktu yang jauh bisa sekali membeli baju buat anak-istrinya, celana buat dirinya, sembari mampir makan pecel lele dan menyeruput teh yang legi, panas dan kentel di warung pasar, wah, itu kemewahan namanya. Tak pelak lagi, Pak Karyomartani sederhana jangkauan impiannya, sederhana pula konsep hidupnya. Tentu saja kenyataan yang keras dari kehidupan yang keras memerintahkan kepadanya untuk bekerja keras. Pendapatannya sebagai petani-gurem-penyakap tidak hanya mepet tetapi sudah di balik, beyond, mepet. Maka sehari-hari hidupnya pun nggombal, miskin, jauh dari celana kolor kastup yang hitam legam mengkilap dan baju yang berkembangkembang cerah bagi istrinya. Dan anaknya mungkin termasuk mereka yang duduk di kelas tanpa pernah menggunakan pakaian seragam yang gagah itu. Pak Karyomartani petani sederhana, nggombal dan hidup wajar sesuai dellan kemampuan .... Akan Pak Kaji Ngimron Mustakin tuan-sawah yang paling kcbeken di bilangan lereng Gunung Merapi itu sekali waktu suka ngobrol juga dengan penggarap-penggarap sawahnya. -- Assalamualaikum w.w. -- Lekum salaaam. -- Para saderek, yen sampeyan semua rajin terus kayak sekarang, insya Allah desa kita akan segera makmur. Sepanjang tahun sawah-sawah kita akan ijo royo-royo diselang-seling dengan kuning keemasan. Siapa bilang pemandangan begini bukan pemandangan indah? Ayo sinten sing berani bilang ngacung ! Tentu saja tidak seorangpun yang mengacungkan tangannya. Juga tidak Pak Karyomartani. -- Nah, desa yang indah ini nanti akan kita lengkapi dengan tanaman cengkih, palawija, buah-buahan. Semua tanaman yang akan laku keras di pasaran. Dan siapa nggih yang mau saya serahi menggarap? Sampeyan, sampeyan, sampeyan .... Maka pada waktu janji Pak Kaji Ngimron itu hanya menghasilkan serentetan insya Allah tanpa satu kenyataan desa itupun tetap terpeluk dalam rutin kehijauan sawah seperti semula. Para petani gurem terus saja bekerja keras. -- Aku bilang apa? Pak kaji itu kajigombaal. -- Iya itu. Janjillya janji gombaaal. -- Ya sudah. Wong gombal kok didengarkan. Combal itu yo gombal. -- Ha, ha haak gombaaaall. Pak Karyomartani yang nggombal itu tidak ikut-ikut rame-rame cekakan bergombal-gombal. Dia terus saja dengan tekunnya bekerja keras turun sawah, menggarap sawah. Hanya menanam padi vutw, bukan Cianjur bukan Rojolele. Ia diam, terus bekerja . . . After all, yang rame bergombal-gombal itu cuma minoritas yang rame kok. Yes, to ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus