SAPA akan menyangka sobekan-sobekan tekstil bekas yang biasanya
cuma berfungsi sebagai lap mebel, mobil atau sepeda akan tumbuh
menjadi kata-bersayap yang ekspresif?
Gombal, kata Jawa buat sobekan tekstil itu, mula-mula memang
cuma berarti sobekan bekas. Kegunaannya juga terbatas untuk
mengelap kotoran yang melengket pada benda-benda. Maka umur
gombal itu sebagai tekstil murni juga terbatas. Yang
kembang-kembang akan segera lusuh kembang dan warnanya. Yang
putih, akan langsung menjadi coklat kehitaman.
Maka gombal pun segera mendapatkan konotasi kotor, melarat dan
cabik-cabik. Berkembanglah kata gombal menjadi nggombal. Yakni
kata-benda sobekan yang menjadi lap itu berubah menjadi
kata-sifat yang berarti melarat dan compang-camping. Orang yang
nggombal adalah orang yang jatuh miskin, pakaiannya sobek-sobek,
kotor tidak pernah ganti.
Kemudian ingatkah anda akan nyanyian Jalal,JanjiGombal, yang
tempo hari sempat dijajakan di televisi? Dalam nyanyian itu
Jalal meratap dan meradang karena kekasihnya tidak menepati
janjinya. Maka dia berteriak: janji gombaaaal .... Di sini
gombal berkembang menjadi sesuatu yang aneh. Dari secabik bahan
tekstil sisa, sobekan lap, ia dikembangkan menjadi satu metafora
yang mengisyaratkan satu arti kebohongan dan ketidak-seriusan.
-- Sabtu sore aku bawa kau nonton, terus makan di Java Room
lantas berajojing di Pitstop. Mau 'kan say?
-- Alah, gombaaal. Berapa kali sudah kau janji begitu . . .
-- Sumpah lap-der! Kali ini beneran deh say ....
-- Aaah, gombal! Nggak percaya. Sekali gombal kau tetap gombaaal
....
Kasihan juga nasib sobekan lap itu. Sudah sobekan, jadi lambang
kemelaratan, berkembang jadi tidak bonafide lagi . . .
***
Dalam kunjungannya ke panen besar di Desa Sumurgintung baru-baru
ini Presiden menganjurkan para petani untuk hidup sederhana
karena keadaan kita masih prihatin. Hidup sederhana itu, begitu
kata Presiden, bukan berarti nggombal, tetapi yang wajar sesuai
dengan kemampuan (Suara Merdeka, 24 Maret 1980).
Hatta, Pak Karyomartani petani-gurem yang menyakap sawah Pak
Haji Ngimron Mustakin di lereng Gunung Merapi sono tidak bebas
dari sentuhan siklus padi vutw, pupuk dan kredit. Meskipun tidak
langsung. Artinya pak haji yang mengurus itu semua, Pak Karyo
yang mengutang.
Jam kerjanya di sawah tidak terbilangkan lagi. Menghitungpun
belum tentu bisa dia! Yang penting jam itu mengulur antara fajar
merekah dan menjelang matahari menggelinding ke barat. Turun ke
sawah, menggarap sawah, pulang.
Kerja, kerja, kerja. Hari demi hari demikian terus. Gembirakah
dia? Entahlah. Gembira mungkin ciut saja dimensinya bagi Pak
Karyo. Melunasi hutang pada waktunya, ada sisa sedikit dari
padinya, ada sedikit uang buat garam dan ikan asing . . . Akan
hal lainnya? Sedikit entertainment buat keluarganya, baju-baju
bagi istri-anak dan dirinya sendiri? Wah, celana komprang hitam
berkolor dari kain-kastup sudah Rp 1.500 di pasar. Bahan lurik
sekain sudah hampir Rp 2.000. Baju seragam anaknya di SD
Pancasila? Wah, wah, wah . . .
Pak Karyomartani (bersama berjuta kolega petani-gurem penyakap
lainnya) sederhana saja jangkauan impiannya. Bisa melunasi
kredit pada waktunya ada sedikit simpanan beras dan uang
lauk-pauk yang cuma ikan-asin dan garam plus dedaunan yang
merambat di kebunnya. Akan kemungkinan pada suatu waktu yang
jauh bisa sekali membeli baju buat anak-istrinya, celana buat
dirinya, sembari mampir makan pecel lele dan menyeruput teh yang
legi, panas dan kentel di warung pasar, wah, itu kemewahan
namanya. Tak pelak lagi, Pak Karyomartani sederhana jangkauan
impiannya, sederhana pula konsep hidupnya.
Tentu saja kenyataan yang keras dari kehidupan yang keras
memerintahkan kepadanya untuk bekerja keras. Pendapatannya
sebagai petani-gurem-penyakap tidak hanya mepet tetapi sudah di
balik, beyond, mepet. Maka sehari-hari hidupnya pun nggombal,
miskin, jauh dari celana kolor kastup yang hitam legam mengkilap
dan baju yang berkembangkembang cerah bagi istrinya. Dan anaknya
mungkin termasuk mereka yang duduk di kelas tanpa pernah
menggunakan pakaian seragam yang gagah itu.
Pak Karyomartani petani sederhana, nggombal dan hidup wajar
sesuai dellan kemampuan ....
Akan Pak Kaji Ngimron Mustakin tuan-sawah yang paling kcbeken di
bilangan lereng Gunung Merapi itu sekali waktu suka ngobrol juga
dengan penggarap-penggarap sawahnya.
-- Assalamualaikum w.w.
-- Lekum salaaam.
-- Para saderek, yen sampeyan semua rajin terus kayak sekarang,
insya Allah desa kita akan segera makmur. Sepanjang tahun
sawah-sawah kita akan ijo royo-royo diselang-seling dengan
kuning keemasan. Siapa bilang pemandangan begini bukan
pemandangan indah? Ayo sinten sing berani bilang ngacung !
Tentu saja tidak seorangpun yang mengacungkan tangannya. Juga
tidak Pak Karyomartani.
-- Nah, desa yang indah ini nanti akan kita lengkapi dengan
tanaman cengkih, palawija, buah-buahan. Semua tanaman yang akan
laku keras di pasaran. Dan siapa nggih yang mau saya serahi
menggarap? Sampeyan, sampeyan, sampeyan ....
Maka pada waktu janji Pak Kaji Ngimron itu hanya menghasilkan
serentetan insya Allah tanpa satu kenyataan desa itupun tetap
terpeluk dalam rutin kehijauan sawah seperti semula. Para petani
gurem terus saja bekerja keras.
-- Aku bilang apa? Pak kaji itu kajigombaal.
-- Iya itu. Janjillya janji gombaaal.
-- Ya sudah. Wong gombal kok didengarkan. Combal itu yo gombal.
-- Ha, ha haak gombaaaall.
Pak Karyomartani yang nggombal itu tidak ikut-ikut rame-rame
cekakan bergombal-gombal. Dia terus saja dengan tekunnya bekerja
keras turun sawah, menggarap sawah. Hanya menanam padi vutw,
bukan Cianjur bukan Rojolele. Ia diam, terus bekerja . . .
After all, yang rame bergombal-gombal itu cuma minoritas yang
rame kok. Yes, to ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini