Saya sangat terkesan oleh berita Membersihkan Islam Palsu (TEMPO, 21 Januari, Agama). Di itu dibedah hadis-hadis palsu yang hingga sekarang masih dipakai sebagian umat Islam. Hadis-hadis itu dimanipulasikan untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Akhirnya, Islam dalam persepsi mereka menjadi kecil. Islam dipandang hanya dalam segi-segi tertentu. Setahu saya, munculnya hadis palsu terjadi setelah wafatnya Khalifah Ali r.a. Waktu itu, 40 H. Batas yang memisahkan antara hadis dan bukan hadis serta masa dimulainya penyimpangan. Ini melahirkan perpecahan di antara sesama orang Islam. Maka, muncullah golongan Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Syiahnya. Lalu menyusul Khawarij sebagai lawan Syiah dan Muawiyah. Dan golongan lumhur sebagai kelompok pemerintahan waktu itu. Ketiga golongan terdahulu itu merupakan sumber utama lahirnya hadis-hadis palsu. Walau motivasi pertama "merebut" kekuasaan dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, sebagaimana diungkapkan TEMPO, itu baru sebagian kecil penyebab adanya hadis-hadis palsu. Kecenderungan lain adalah usaha kaum zindik (ateis) mengacaukan Islam. Abdullah ibn Saba melakukan fitnah dengan "membakar" semangat kelompok Syiah. Ia menyatakan, Ali bin Abi Thalib memiliki sifat-sifat ketuhanan. Kesempatan ini di gunakan Ibn Saba' dalam propagandanya kepada kelompok Muawiyah dan Jumhur. Maka, berlangsunglah penyisipan hadis-hadis palsu. Hadis-hadis ciptaan kaum zindik, konon, sekitar 14.000 hadis. Penyebab lain timbulnya hadis palsu adalah sikap fanatisme kebangsaan dan suku. Juga sikap fanatilk terhadap ulama atau golongan. Mereka yang fanatik kebangsaan, misalnya Arab, menambah hadis-hadis mereka dengan al-'Arabiyah. Begitu pula kalangan Persia. Hadis-hadis palsu juga muncul karena rasa fanatik terhadap mazhab atau imam mazhab, yang ingin mendiskreditkan kelompok atau mazhab lain. Sikap ekstrem itu, misalnya, terhadap mazhab Syafii. Golongan ekstrem ini, dalam membangga-banggakan kelompoknya, mengetengahkan hadisnya, "Akan muncul dari umatku seorang laki-laki bernama Muhammad bin Idris ia lebih berbahaya dari iblis dalam menyesatkan umat. "Lalu, mereka yang fanatik kepada imam mazhab pun, misalnya Imam Abu Hanifah, melahirkan hadisnya, "Akan ada seorang laki-laki dari umatku yang disebut Abu Hinifah An-Nu'man bin Tsabit. Ia pelita umatku." Kecenderungan munculnya hadis-hadis palsu itu pun karena tak dibukukan. Sebab, waktu itu Nabi Muhammad saw. sendiri melarang membukukan, dengan alasan khawatir bercampur dengan ayat-ayat Quran. Sedangkan pada waktu itu yang diandalkan para sahabat Nabi hanya kekuatan menghafal. Di sisi lain, penyampaian Nabi dan para sahabatnya berlangsung dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Apalagi, hadis-hadis telah menyebar ke seluruh pelosok tanah Arab. Sehingga, baik segi lafal (logat) maupun perawi (penyampai) telah berbeda-beda pula. Keadaan ini, oleh golongan-olongan tertentu, dipergunakan untuk memenangkan pucuk kepemimpinan atau kepentingan-kepentingan pribadi lainnya. Melihat penyimpangan-penyimpangan hadis tersebut, pada abad ke-2 Hijriah, muncul ide Umar bin Abdul Aziz melakukan kodifikasi. Maka, dibuatlah kriteria-kriteria periwayatan hadis. Kriteria itu dilihat dari berbagai segi: aliran atau mazhab, kemampuan menghafal, dan nilai kepercayaan terhadap si periwayat. Juga ditetapkan ushul/-ushul (hukum-hukum). Atas dasar itu dapat diketahui mana hadis sahi (kuat) dan dla'if (lemah atau palsu). Adapun ciri khusus hadis-hadis palsu dapat dilihat pada sanad atau orang yang menyampaikan isi dari sebuah hadis. Pendustakah dia atau bukan. Ataukah si perawi mengakui sendiri pernah membuat hadis palsu. Hal terakhir itu pernah dilakukan Abdul Karim Abil Auza. Ia mengakui pernah membuat hadis palsu sebanyak 4.000. Contohnya, Muhammad bin Hajja An-Nakhai, seorang pedagang roti. Rotinya terbuat dari gandum dicampur daging dan bubur. Untuk mendapatkan kedudukan terhormat sebagai penjual roti, ia dengan berani memanipulasikan hadis-hadis demi dagangannya laku. Penyimpangan dapat pula diketahui pada matan (teks) hadis. Isi atau materi suatu hadis diketahui karena kejanggalan pada lafal dan makna atau maksud berdasarkan kaidah-kaidah akal. Atau bertentangan dengan kebiasaan umum. Bahkan bertentangan dengan ayat Quran. Motif pemalsuan itu, sebagaimana dilakukan Giyats bin Ibrahim, adalah sebagai usaha mendapatkan kedudukan dan penghargaan dari para pembesar atau pejabat pemerintah alias "cari muka". Giyats saat itu masuk ke istana Khalifah Al-Mahdi. Di sana ia melihat khalifah sedang bermain-main seekor burung. Dengan maksud mencari muka, Giyats mendekati khalifah dan berkata "Tak ada perlombaan kecuali pada memanah atau melemparkan lembing pada binatang yang berkuku satu atau yang berkuku belah atau yang bersayap." Hadis itu sesungguhnya berasal dari Rasulullah saw. Tetapi aslinya hanya sampai pada kata, "yang berkuku belah". Sedangkan kata "yang bersayap" tambahan dari Giyats. Untuk menghindari usaha-usaha pemalsuan hadis Nabi diperlukan kodifikasi (pembukuan) dengan jalan mengklasifikasikan. Itu dilakukan ulama-ulama hadis di abad ke-2 dan ke-4 Hijriah. Untuk memelihara eksistensi hadis-hadis Nabi, para ulama, cendekiawan, dan intelektual Muslim dibutuhkan peran sertanya. Sehingga, "pembangkangan" atas hadis oleh golongan tertentu, yang ingin mengecilkan Islam, bisa dicegah. Dan saya kira, Dr. Syuhudi Ismail sebagai pakar di bidang hadis dapat diharapkan mampu mengajak ahli-ahli Islam lainnya melakukan "pelacakan kembali" hadis-hadis palsu, yang selama ini dipakai para da'i. Bahkan ada pula oleh sementara ulama. ACHMAD IBRAHIM Mahasiswa IAIN Alaudin Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah dan Filsafat Jalan Singa 37A Ujungpandang 90132
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini