SISA uang yang dimiliki pemerintah setelah pengeluaran rutinnya pada akhir anggaran 1988/89 ternyata berjumlah Rp 2,3 trilyun, atau Rp 500 milyar lebih tinggi dari yang dianggarkan. Itulah salah satu data yang bisa disimak dari keterangan Menteri Keuangan Sumarlin dl depan DPR baru-baru ini tentang realisasi pelaksanaan APBN 1988/89. Kunci berhasilnya Pemerintah melampaui anggaran penerimaan dalam negerinya dengan 6% sebenarnya terletak pada tiga pos besar: penerimaan migas, PPH dan PPN. Bila penerimaan ketiga pos ini aman, maka amanlah APBN. Gejolak harga minyak sudah menjadi hal yang rutin, dan nampaknya tak perlu lagi menyedot seluruh keprihatinan. Ingat, APBN 1988/89 didasarkan pada perhitungan harga minyak US$ 16 per barel, tapi enam bulan setelah APBN tersebut disahkan DPR, harga minyak turun drastis, yang menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan "hantu 1986" akan muncul lagi. Awal tahun ini harga minyak menguat lagi, sekalipun ini tak cukup mengembalikan harga rata-rata seluruh tahun anggaran pada US$ 16. Kalau akhirnya penerimaan migas Rp 0,6 trilyun (7%) lebih tinggi dari anggaran, ini terjadi hanya karena perhitungan ulang pajak para kontraktor minyak asing, dan untung, karena kurs dolar yang sedikit menguat terhadap rupiah. Semula ada kekhawatiran bahwa sasaran penerimaan pajak sebesar Rp 9,1 trilyun tak akan tercapai mengingat satu bulan menjelang penutupan tahun anggaran, jumlahnya ternYata baru mencapai 75% dari anggaran. Tapi akhirnya penerimaan PPH dan PPN sedikit melampaui anggaran. Penerimaan pemerintah di luar minyak dan gas bumi kini mencapai sekitar 11% PDB nonmigas Indonesia. Ini memang jauh lebih baik dari situasi pada 1982/83, saat penerimaan nonmigas baru 8% PDB nonmigas. Tapi angka ini pun masih jauh di bawah angka-angka negara Asia lain. Pada 1987 misalnya, penerimaan pajak sebagai persentase PDB untuk Korea Selatan adalah 15,3%, Muangthai 15%, Malaysia 13%, Pakistan 13%, bahkan Filipina yang masih kacau itu mampu mengumpulkan 12%. Melihat angka rasio Indonesia yang lebih rendah ini, timbul pikiran bahwa sebenarnya ruang gerak untuk peningkatan pemungutan pajak masih terbentang luas. Bahkan sasaran untuk meningkatkan penerimaan pajak di luar minyak menjadi 15% PDB di luar minyak sudah menjadi sasaran tidak resmi. Yang menjadi pertanyaan: mampukah penghasilan rakyat Indonesia, yang cuma seperempat pendapatan rakyat negara-negara tetangga itu, menanggung beban pajak sebanyak itu? Indikasi bahwa ekstensifikasi pungutan pajak sudah mendekati batas mulai kelihatan ketika Pemerintah menunda pelaksanaan pungutan PPN untuk perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas baru-baru ini. Bukan tak mungkin "fleksibilitas" Pemerintah seperti ini akan diberikan di sektor-sektor lain, dengan makin meluasnya keluhan dan kegelisahan dari kalangan bisnis. Dirjen Pajak akan menghadapi satu trade off antara fleksibilitas dan kredibilitas, karena fleksibilitas dalam peninjauan kembali tarif pajak akan dibatasi oleh keharusan Pemerintah mempertahankan kredibilitasnya. Kalau ada angka yang memerlukan klarifikasi lebih lanjut dari yang disampaikan Menteri Sumarlin ke DPR itu, angka itu adalah realisasi penyertaan modal (kemungkinan besar untuk BUMN) sebesar Rp 125 milyar. Padahal, yang dianggarkan cuma Rp 87 milyar. Ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi kebijaksanaan Pemerintah terhadap pembiayaan BUMN. Kebijaksanaan Pemerintah di sini adalah bahwa BUMN pada akhirnya harus mampu menghidupi dirinya dari penghasilannya sendiri. Jumlah penyertaan modal BUMN memang sudah menurun selama ini. Pada 1983/84, beban ini masih sekitar 4% PDB, tapi sekarang sudah kurang dari 1% PDB. Namun, ini tak berarti bahwa prestasi BUMN sudah memuaskan. Tingkat kembalian investasi seluruh BUMN (return on investment) cuma 2,2%, seperti yang dihitung Bank Dunia dalam laporannya terbaru tentang ekonomi Indonesia. Untuk BUMN di luar lembaga keuangan (dan di luar Pertamina), tingkat kembalian ini bahkan cuma 0,5%. Angka ini lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi kemerosotan prestasi BUMN, terutama pada BUMN yang bergerak di luar sektor finansial. Penggalakan efisiensi intern pada BUMN harus dilakukan sebagai imbalan bagi publik yang membayar kenaikan harga barang dan jasa yang dibebankan BUMN. Hal ini perlu dilakukan mengingat potensi mobilisasi dana oleh BUMN tidak kecil. Bila saja BUMN di luar yang berusaha di bidang keuangan bisa meningkatkan tingkat kembaliannya dari 0,5% menjadi 5%, angka yang mestinya tak susah dicapai, mobilisasi dana yang dikumpulkan bisa mencapai ekuivalen 2% PDB sendiri. Di samping mobilisasi dana lewat perbaikan BUMN, tak boleh dilupakan sumber mobilisasi dana yang berasal dari pemerintah daerah. Dua macam pajak daerah yang paling menonjol kini adalah PBB dan pajak kendaraan bermotor. Pungutan PBB sedang digalakkan, dan kemajuannya memang luar biasa. Sekalipun demikian, ketentuan tarif yang berlaku secara pukul rata cuma berarti tarif efektif sebesar 0,1%, yang mungkin merupakan tarif terendah di dunia. Di Filipina, tarif ini sekitar 1%, di Muangthai 0,8%, dan di India bahkan 2,6%. Di luar kedua jenis pajak daerah itu, kini diperkirakan ada 100 jenis pungutan daerah yang macet pemungutannya karena ternyata biaya pemungutannya lebih tinggi dari penghasilan yang diterimanya. Pemberian perangsang dalam bentuk desentralisasi yang lebih besar mungkin akan bisa memacu gairah pemerintah daerah untuk memperbaiki administrasi keuangannya sendiri. Penggunaan bantuan luar negeri yang dirupiahkan, yang melonjak hingga 75% lebih tinggi dari yang dianggarkan, menunjukkan tekad Pemerintah untuk mengurangi penggunaan kredit komersial untuk impor, hingga secara keseluruhan struktur utang luar negeri menjadi lebih baik dengan beban bunga yang lebih ringan. Bantuan khusus yang bisa segera dirupiahkan ini sebagian besar berasal dari IGGI sebesar US$ 2,4 milyar, termasuk kemurahan hati Jepang yang lewat OECF dan Bank Eximnya menyumbang US$ 1,7 milyar. Diperkirakan bahwa bantuan khusus ini bisa membiayai sekitar 20% impor, dan memungkinkan Pemerintah meneruskan kebijaksanan deregulasinya, di samping menambah kepercayaan pasar uang terhadap Indonesia. Perubahan struktur utang ini memang mendesak karena adanya laporan IMF yang cukup mengagetkan baru-baru ini. IMF mengatakan bahwa dua pertiga utang Tndonesia bersifat "nonkonsesional", artinya, kreditnya tidak murah. Dan kalau DPR masih merasa punya hak bujet, maka inilah yang perlu klarifikasi lebih lanjut dari Menteri Sumarlin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini