Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir Hamzah menulis di tahun 1930-an. Sajaknya menghadap Tuhan, dan menyebut-Nya “ganas”, “cemburu”, seakan-akan men-“cakar”. Kiasan itu tak lazim, tapi puisi itu beredar. Sang penyair tak digeruduk. Ia tak dicurigai sebagai penista agama, tak pula dikafirkan. Ia dibaca: sastrawan yang paling religius, dengan karya paling indah di zamannya—dengan puisi yang tetap menggetarkan orang sejak masa Pujangga Baru sampai dengan hari ini.
Amir Hamzah hidup di era pra-FPI, pra-MUI, pra-takfiri, pra-paranoia.
Ia saksi (juga Chairil Anwar di pertengahan 1940-an) bahwa Indonesia pernah punya satu periode yang pendek tapi berarti, ketika ketegangan antara sastra dan agama tak membuat penyair gentar, gagu, tenggelam.
Pernah ada masa Hamzah Fansuri, penyair dan sufi Aceh, di abad ke-17. Pada suatu hari di tahun 1637, sekitar setengah abad setelah sang sufi wafat di Mekah, ribuan kitab karyanya dan risalah yang membawakan pandangannya dibumihanguskan di halaman masjid raya Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Seorang ulama yang berpengaruh, Nuruddin ar-Raniri, memutuskan bacaan itu “kafir yang zindiq”.
Dengan kata lain: dikutuk.
Sang pengutuk, Ar-Raniri, bukan orang Aceh. Ia datang dari Gujarat, India, di tahun 1637. Meskipun tak sampai 10 tahun tinggal, ia ulama penting di istana Sultan Iskandar Tsani (1636-1641).
Seperti diceritakan Oman Fathurrahman dalam telaahnya, “Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan di Melayu dan Jawa” (2011), sejak tiba di Aceh, Ar-Raniri sudah menampik pandangan Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Mereka, katanya, kaum “wujudiyyah yang mulhid lagi zindiq”—sesat, kafir, harus disingkirkan.
Dengan fatwa “kafir” dan “sesat”, dengan dukungan Sultan Iskandar Tsani, Ar-Raniri pun memberangus. Korban berjatuhan, “Dengan sangat tragis,” kata Oman Fathurrahman. Ar-Raniri sendiri menggambarkannya dalam bukunya yang ia tulis dalam prosa Melayu yang kaku, Fath al-Mubin: “Maka disuruh oleh raja bunuh akan mereka itu, dan disuruhnya himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan masjid yang bernama Baiturrahman....”
Seorang pelancong Inggris, Peter Mundy, datang ke Aceh beberapa bulan setelah para penganut wujudiyyah dieksekusi. Ia mencatat kesaksian tentang kekejaman yang terjadi: seperti Inkuisisi Gereja Katolik di Spanyol di akhir abad ke-15, penguasa agama Aceh dan Sultan Iskandar Tsani membakar “para sesat” hidup-hidup.
“Sesat”, “kafir”, “zindiq”—kita tahu cap macam itu selamanya datang dari ortodoksi agama. Ortodoksi dibangun dari hasrat menegakkan satu klaim kebenaran sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai pendapat dan perilaku. Menjadi “satu-satunya” perlu kekuatan epistemologis tentang apa yang dianggap “benar”, juga kekuasaan politik. Dengan itu pemegang ajaran “menyucikan” doktrin, membasmi pikiran dan perilaku yang “menyimpang”. Seperti kata Talal Asad dalam The Idea of an Anthropology of Islam, ortodoksi bukan “semata-mata satu bangunan pendapat, tapi satu hubungan tersendiri—hubungan kekuasaan”.
Hubungan kekuasaan—juga hubungan kekuasaan dengan bahasa. Permusuhan kepada puisi Hamzah Fansuri—dan kepada paham wujudiyyah—tumbuh dari sikap yang risau menghadapi metafor. Ortodoksi menafikan bahasa yang polisemik, waswas akan puisi yang hidup dalam kekayaan makna.
Cukup dikenal bahwa Hamzah Fansuri, sufi dari wilayah kepulauan ini, mengibaratkan Tuhan seperti bahr al-‘amîq, “laut yang dalam”. Ia ingin berbicara tentang sesuatu yang maha-tak-terjangkau. Seorang teman menunjukkan kepada saya bagaimana dengan cemerlang Hamzah Fansuri menjelaskan perumpamaan itu dalam Asrâr al-`Ârifîn fî Bayân `Ilm al-Sulûk wa al-Tawhîd: baginya, hubungan antara alam dan Tuhan begitu akrab. “Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan laut.” Dalam pertautan itu tak berarti Tuhan ada di dalam alam, ataupun di luarnya. Tuhan tak bertempat. Ia tak terhingga.
Di sini kita ingat pandangan sufistik Ibnu Arabi: alam adalah tajalli. Pada samudra, angkasa, benda-benda, dan manusia, Allah memancarkan yang menakjubkan dari Wujud-Nya. Ar-Raniri salah ketika ia menyimpulkan ajaran macam itu berarti percaya “al-’âlam huwa Allâh, huwa al-’âlam”, “alam itu Allah dan Allah itu alam”. Ulama asal Gujarat ini gagal menangkap kepekaan hati dan metafor pada syair Fansuri. Ia, seorang qadi, yang terbiasa membaca Kitab Suci sebagai teks legal yang tegar, tak memahami bahwa metafor adalah sesuatu yang tak terelakkan—baik dalam bahasa Quran maupun bahasa percakapan manusia. Orang menggunakannya untuk hal yang sederhana maupun untuk membicarakan Tuhan yang tak terperikan. Manusia hidup dalam bahasa, dan bahasa hidup dalam sejarah. Kata-kata selalu menolak menyempitkan diri di satu makna.
Sebab itu selalu ada ketegangan antara ortodoksi agama dan ekspresi puitik dalam sufisme—ekspresi yang tak bisa dikendalikan doktrin. Amir Hamzah pernah menulis, hatinya “punya kitab sendiri”.
Untung, ia tak hidup di zaman Ar-Raniri. Ia juga tak hidup di zaman FPI, MUI, takfiri, hari ini.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo