Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Presiden Joko Widodo mengangkat figur Jaksa Agung dari partai politik harus dibayar mahal. Di bawah kepemimpinan M. Prasetyo, yang sebelumnya politikus Partai NasDem, citra Kejaksaan Agung makin terpuruk. Kisruh kasus penyuapan jaksa merupakan contoh mutakhir yang memperlihatkan kejaksaan kurang profesional dan terkesan melindungi korps Adhyaksa.
Dalam skandal suap yang terbongkar lewat operasi tangkap tangan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan tiga tersangka. Salah satunya Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, yang dituduh menerima suap. Adapun dua tersangka lain berperan sebagai penyuap. Kasus suap ini berkaitan dengan penuntutan perkara penipuan dan pencucian uang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kedua tersangka penyuap merupakan pihak korban penipuan.
Gelagat yang mencurigakan terlihat karena KPK kemudian melepas dua pejabat Kejaksaan DKI, Yuniar Sinar Pamungkas dan Yadi Herdianto, yang sebelumnya ditangkap bersama para tersangka. Rupanya, kejaksaan ingin menangani sendiri kasus Yuniar dan Yadi lewat pemeriksaan etik dan pidana—langkah yang justru akan mengundang konflik kepentingan. Kejaksaan semestinya membiarkan kasus dua jaksa itu ditangani komisi antikorupsi hingga tuntas.
Pimpinan KPK seharusnya pula menolak keinginan kejaksaan. Apalagi peran Yuniar dan Yadi dalam kasus suap itu amat sentral. Dalam penangkapan mereka, bahkan ditemukan bukti berupa uang dolar Singapura senilai ratusan juta rupiah. Posisi kedua jaksa pun penting dalam penanganan perkara penipuan yang menjadi pangkal penyuapan. Yuniar merupakan Kepala Seksi Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara dan Yadi memimpin Subseksi Penuntutan.
Dalam urusan korupsi, KPK sebetulnya memiliki kekuasaan lebih besar dibanding lembaga penegak hukum lain. Komisi ini berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, termasuk jaksa. Komisi antikorupsi bahkan berhak mengambil alih kasus korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan.
Sikap pimpinan KPK yang terkesan mengalah menyebabkan hilangnya kesempatan membongkar tuntas sekaligus mengembangkan kasus suap jaksa. Penyidik semestinya mengusut kasus ini hingga ke Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Secara administratif, kejaksaan negeri juga ikut menangani perkara penipuan yang melahirkan kasus suap itu. Saat ini, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat dipimpin Bayu Adhinugroho, yang merupakan putra Jaksa Agung Prasetyo.
Penanganan kasus suap jaksa jelas memperlihatkan kacaunya proses penegakan hukum. Presiden Jokowi seharusnya memerintahkan Jaksa Agung tak mengusik pengusutan suap jaksa oleh KPK. Presiden juga perlu memperhatikan citra dan kinerja kejaksaan yang buruk.
Terbongkarnya kasus penyuapan jaksa bukan kali ini saja terjadi. Setidaknya ada tujuh jaksa yang ditangkap KPK sepanjang 2004-2018. Tingkat keberhasilan kejaksaan dalam menuntut terdakwa korupsi hingga divonis pun rendah. Indonesia Corruption Watch mencatat tingkat keberhasilan Kejaksaan Agung dalam hal itu hanya 60 persen, jauh di bawah keberhasilan KPK, yang di atas 90 persen.
Dalam periode kedua pemerintahannya, Jokowi semestinya tidak mengulang kesalahan yang sama: menyerahkan pos Jaksa Agung ke kalangan partai politik. Presiden harus mencari figur yang benar-benar berintegritas, antikorupsi, dan profesional untuk memimpin sekaligus membenahi barisan Adhyaksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo