Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika kepala negara tetangga membikin blunder dengan menudingkan tangan ke alamat yang salah, tiba-tiba seseorang dengan sosok yang tidak asing muncul di hadapan kita. Ia Xanana Gusmao. Ia membersihkan piring kotor setelah negeri kecilnya yang merdeka pada 2002 itu menghadapi sebuah ujian berat: percobaan pembunuhan terhadap perdana menteri dan presiden.
Indonesia pun mendengarkan kata-katanya, tapi menyimpulkan dengan caranya sendiri. Orang melihat kemampuan diplomatis Xanana yang ulung, sekaligus membandingkannya dengan tokoh yang tengah diwakilnya: sang kepala negara. Xanana menjelaskan, ada trauma dari masa lalu, juga trauma setelah percobaan pembunuhan yang gagal pada Februari lalu, dan itulah yang mendorong kata-kata yang berlandaskan pada asumsi ketimbang fakta itu meluncur dari mulut Presiden Timor Leste Ramos Horta.
Di Dili, Ramos Horta mengutarakan penyesalan atas pernyataannya tentang keterlibatan seorang wartawan Indonesia menyelundupkan pemimpin pemberontak Alfredo Reinado ke sebuah hotel di Jakarta. Di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambutnya, membuka pintu maaf lebar-lebar. Tapi sebagian orang tetap mencela. Horta dinilai tidak kesatria karena tidak memproklamasikan permintaan maafnya di Jakarta.
Horta, yang menghabiskan waktunya bertahun-tahun di universitas Australia manakala perang meroyan, memang bukan Xanana, yang membayar perlawanan bersenjatanya di hutan-hutan Timor Timur dengan meringkuk di rumah tahanan Salemba dan Cipinang, Jakarta. Entah pelajaran apa yang dipetik Xanana dari politik Indonesia pada periode 1990-an itu. Yang jelas, dari pengalaman politik selama ini, kita dapat memahami bahwa trauma dari masa lalu itu dapat menghantui kita sepanjang tiga dasawarsa.
Di Indonesia, mesin rekayasa berhasil menyulap trauma menjadi hantu—sesuatu yang eksis tidak dalam wujud material, dan karena itu susah dienyahkan. Hantu komunis tidak ikut ditelan bumi manakala Partai Komunis Indonesia kalah dalam pertarungan politik yang bersimbah darah pada 1965. Sang hantu memang diciptakan untuk disalahkan; dinyatakan berada di balik aneka angkara murka di negeri ini, sekalipun para pemimpin, kader, dan simpatisannya telah dihabisi atau dibuang ke Pulau Buru. Indonesia memiliki banyak hantu, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, yang dibangkitkan dari sosok atau rezim yang kalah. Dari Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, atau Partai Komunis Indonesia.
Kini dunia berubah. Mandat berkuasa tidak lagi diperoleh dari benturan dua kekuatan yang bersaing, tapi dari masyarakat yang ambil bagian dalam pemilihan umum. Ya, pergantian kekuasaan menjadi sesuatu yang reguler, tapi trauma dari masa lalu yang tidak menyenangkan tak terkubur begitu saja. Bagi negara sebelia Timor Leste, trauma sewaktu-waktu muncul sebagai bagian dari defense mechanism orang-orang yang tak bisa menerima kondisi serba memprihatinkan.
Kepada Presiden Horta, seseorang bisa saja membisikkan pandangannya tentang kelompok-kelompok pro-integrasi atau tentang pemberontak Alfredo Reinado yang menyimpan hasrat menghabisi sang presiden. Kelompok yang kalah memang tidak bisa membela diri dan menyangkal tudingan lawannya yang berjaya. Tapi, dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, mungkin kita bisa menahan diri untuk membuat kesimpulan simplistis dari suatu kejadian pahit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo