Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan Masyarakat Film Indonesia sungguh mengecewakan. Masyarakat Film, yang diwakili sutradara Riri Riza dan empat orang lain, meminta Mahkamah menguji Undang-Undang Perfilman tentang Lembaga Sensor Film, yang dianggap melanggar Pasal 28 Undang-Undang Dasar yang mengatur kebebasan berekspresi. Jika pasal tentang lembaga sensor itu dinyatakan sebagai pelanggaran, otomatis Lembaga Sensor Film bakal bubar. Ada beberapa hal yang menarik dicatat dari putusan majelis hakim yang dipimpin Jimly Asshiddiqie itu.
Catatan pertama, putusan majelis hakim ini tak bulat, karena hakim Laica Marzuki mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Laica menyatakan Lembaga Sensor harus dibubarkan karena menghalangi hak setiap orang mengeluarkan pikiran, baik dengan lisan maupun tulisan. Laica yakin, dengan dibubarkannya Lembaga Sensor, dunia perfilman akan tetap terikat dalam hukum. Implikasi dari opini hakim Laica adalah ia satu-satunya hakim yang percaya bahwa jika kita konsekuen dengan reformasi negara ini, para hakim seyogianya mengabulkan permohonan Masyarakat Film, karena jelas terjadi pelanggaran konstitusi. Ia juga hakim yang percaya masyarakat Indonesia sudah cukup dewasa untuk bisa menjalankan sistem klasifikasi film yang mengelompokkan penonton sesuai dengan usianya seperti di negara demokratis lain. Sayang, hakim Laica tidak didukung rekan-rekannya.
Kedua, meski permohonan Masyarakat Film ditolak, para hakim sepakat bahwa Undang-Undang Perfilman yang berlaku saat ini, termasuk ketentuan yang mengatur Lembaga Sensor Film, ”sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya, sehingga sangat mendesak untuk dibentuk undang-undang film yang baru yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.” Tapi, dalam napas yang sama, majelis hakim tetap mengakui bahwa ketentuan tentang sensor dalam undang-undang yang digugat itu bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat); artinya, penyensoran itu dianggap masih legal, dengan memenuhi persyaratan tertentu.
Bagian ini menyiratkan kesan bahwa terjadi dilema pada para hakim: di satu pihak, secara hukum dan rasional, pelanggaran atas pasal 28 Konstitusi memang terjadi. Namun, di pihak lain, para hakim tampak ragu untuk menyatakan pelanggaran itu, dan menggunakan pasal 28-J ayat 2 sebagai sebuah ”penyelamat” segala dilema. Pasal ini menekankan, dalam menjalankan kebebasan berekspresi, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.
Pasal 28-J ini pada masa reformasi tampaknya menjadi pasal karet yang sering digunakan sebagai senjata oleh mereka yang mudah curiga terhadap kata ”kebebasan berekspresi”—seolah kata-kata itu pasti identik dengan pornografi. Dalam pertarungan Masyarakat Film Indonesia versus Lembaga Sensor Film, sejak November lalu di sidang Mahkamah Konstitusi, pasal 28-J menjadi primadona yang diucapkan berulang-ulang oleh Lembaga Sensor dan para pendukungnya.
Meski permintaan menghilangkan sensor sudah ditolak, kami menyarankan perlawanan tetap diteruskan. Pernyataan hakim bahwa pembentukan undang-undang film yang baru ”sangat mendesak” harus langsung diikuti gerakan nyata. Penggodokan rancangan undang-undang film yang baru, yang masih tersangkut di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, harus segera dikejar, dikawal, dan diawasi oleh masyarakat perfilman sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo