Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ramalan Chakib Khelil sangat mencemaskan. Presiden Organisasi Negara Pengekspor Minyak itu memperkirakan harga minyak akan menembus US$ 200 per barel pada 2010. Kalau Khelil dan sejumlah analis lain yang sependapat benar, akan muncul banyak problem ekonomi yang berlangsung lama.
Kesulitan besar akan menghadang Indonesia. Sekarang saja Indonesia sudah keteteran ketika harga minyak dunia bertengger di kisaran US$ 120 per barel. Artinya, masalah yang dihadapi Indonesia juga bukan urusan jangka pendek. Solusi yang mesti diambil pemerintah pun semestinya berjangka panjang. Tidak bisa tidak, tiga langkah krusial secara simultan mesti dijalankan: menaikkan harga bahan bakar minyak, menghemat, dan mengkonversi energi. Ketiganya mendesak dijalankan untuk mengurangi beban berat anggaran negara.
Tidak perlu keukeuh pada janji tidak menaikkan harga minyak dalam negeri. Janji itu kelewat mahal harganya, ditaksir membuat subsidi energi ”meledak” sampai Rp 260 triliun. Anggaran Republik bisa bocor besar. Pemerintah semestinya belajar dari pengalaman pada 2005. Ketika itu, juga akibat lonjakan harga minyak dunia, pemerintah dua kali menaikkan harga bahan bakar minyak secara drastis.
Akibat jangka pendeknya, inflasi melonjak ke angka hampir 18 persen. Perekonomian melambat, pengangguran dan kemiskinan meningkat. Dampak buruk kebijakan itu baru hilang satu setengah tahun kemudian. Karena itu, sangat tidak bijaksana jika pemerintah menunda kenaikan harga bahan bakar minyak. Apalagi perekonomian dunia sekarang lebih buruk dibanding 2005. Bukan hanya akibat harga minyak yang tinggi, melainkan juga lantaran krisis kredit macet di sektor perumahan yang membuat perekonomian dunia melemah.
Secara bersamaan, penghematan juga harus dilakukan, terutama di sektor transportasi. Jika pertumbuhan kendaraan tidak bisa dihambat—sebutlah dengan alasan menghindari pemutusan hubungan kerja di industri otomotif—pemakaian bahan bakar bisa dibatasi. Penjatahan bahan bakar dengan kartu pintar merupakan salah satu caranya. Sayang, pemerintah maju-mundur dalam soal ini.
Kendati sudah dibicarakan sejak Februari, sampai kini belum jelas kapan kartu pintar akan diterapkan. Kalau sosialisasi dan persiapannya butuh lima bulan, paling cepat program ini baru bisa dijalankan Oktober nanti. Padahal, dengan asumsi harga minyak US$ 100 per barel, pembatasan konsumsi untuk kendaraan pribadi saja dalam setahun bisa menghemat Rp 60 triliun. Jika dihitung sejak Januari 2008, potensi penghematan yang gagal direalisasi mencapai Rp 45 triliun!
Konversi energi yang sudah lama dicanangkan nasibnya sama saja: menguap bersama asap mobil. Pemakaian biodiesel secara massal terhambat harga sawit yang mahal dan juga sikap Pertamina yang terus mengurangi porsi biodiesel dalam solarnya—dari lima persen menjadi tinggal satu persen. Pemakaian gas dan batu bara untuk menggantikan minyak dalam proyek pembangkit listrik juga sangat lamban.
Pemerintah sudah saatnya berhenti berwacana, tidak ragu-ragu, dan bergegas menjalankan tiga langkah itu karena keberhasilannya akan membuat rakyat lebih tenang menghadapi krisis energi di masa datang. Sudah jelas, program penghematan tak bisa dilakukan hanya melalui pidato dan imbauan. Apalagi pidato yang cepat dilupakan pencetusnya sendiri: misalnya berkantor di Istana dengan batik berlengan pendek untuk menggantikan jas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo